Monday, July 25, 2016

JRO MANGKU WAYAN RADIG BERPULANG

Pada hari Selasa bertepatan dengan Kajeng Kliwon (Anggarkasih) Purnama Kasa Tanggal 19 Juli 2016, Jro Mangku Wayan Radig warga Tangkas Kori Agung Sawangan telah berpulang menuju nirwana.

Kepulangan beliau bertepatan dengan Upacara Ngatep Pelawatan Ida Bhetara Unen....

Upacara atiwa-tiwa dilaksanakan pada hari Senin Kajeng Umanis panglong ping 6 Sasih Kasa tanggal 25 Juli 2016

Semoga segala amal dan bhaktinya menghantarkan beliau ke Alam Nirwana serta Amoring Acintya

Wednesday, October 7, 2009

558. “Moksha bukanlah sekedar bebas dari belenggu jasad ini, tidak pula sekedar bebas dari tongkat ataupun mangkok Kamandalu[1], melainkan leganya kebebasan dari kebodohan atau denyut kegelapan hati[2].
559. “Apakah baik atau jeleknya bagi si pohon kalau daunnya yang gugur itu jatuh di sebuah selokan ataupun di sungai, atau dijadikan bahan sesaji di tempat suci ataukah di perempatan jalan?
560. “Rusaknya organ-organ tubuh, menurunnya daya-vital ataupun daya-intelek layaknya gugurnya daun, bunga atau buah pada sebatang pohon. Itu bukan kerusakan bagi Diri-jati —yang hakekatnya adalah Kesujatian Itu Sendiri, yang merupakan perwujudan dari Kebahagiaan Sejati.”

Tuesday, October 6, 2009

Om Swastyastu
Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku ‘dipaksa’ membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masakecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.
Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.
Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.
Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.
Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.
Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi do’a di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.
Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan, jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.
Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang baik dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa segala kiriman uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding kehadiranku untukmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku. (Untuk Semua Ibu Di Seluruh Dunia)

Saturday, September 12, 2009

CATUR WARNA dan KASTA


Bagaimana proses penyimpangan Catur Warna menjadi Kasta di Bali.

Dalam Agama Hindu tidak diajarkan sistim Kasta, yang ada adalah Sistem Warna; yaitu klasifikasi masyarakat menjadi empat kelompok sesuai guna/bakat/talenta dan karma/profesi/pekerjaannya. Namun kenyataan di dalam masyarakat Hindu di Bali, pelaksaan Catur Warna sempat mengalami penyimpangan. Catur warna berubah menjadi sistim kasta yang berdasar pada Catur Wangsa (klasifikasi masyarakat sesuai keturunan), bagaimana hal ini bisa terjadi?…
Marilah kita tengok sejarah di masa lalu, kata Bung Karno; salah satu pendiri negeri Indonesia tercinta ini mengatakan: “Jangan pernah lupakan sejarah, belajarlah dari sejarah..”
Tulisan Pak Nyoman Sukadana di bawah ini akan menjelaskan secara rinci bagaimana proses penyimpangan ini terjadi dan akhirnya dilakukan pelurusan oleh lembaga tertinggi Hindu, Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI), kembali ke sistim warna sesuai kitab suci Weda.
AJARAN CATUR WARNA DAN APLIKASINYA DI BALI
Oleh:Nyoman SukadanaCatur Warna adalah ajaran agama Hindu tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat atas „guna” dan „karma” dan tidak terkait dengan kasta atau wangsa. Catur Warna adalah ajaran agama Hindu tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat atas „guna” dan „karma” dan tidak terkait dengan kasta atau wangsa. Sumber-sumber ajaran Catur Warna diantaranya :
Mantra Yajur Weda XXX.11. dinyatakan :
Brahmana Varna diciptakan dari kepala Brahman, Ksatria dari lengan Brahman, Vaisya dari perut-Nya, dan Sudra dari kaki Brahman. Jadi semua warna itu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Mantra Yajur Weda XVIII.48. dinyatakan :
Untuk memanjatkan puja kepada Tuhan Yang Maha Esa, Brahmana, Ksatriya, Vaisya, dan Sudra sama-sama diberikan kemuliaan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat warna ini akan mulia kalau sudah mentaati swadarmanya masing-masing.
Bhagawadgita IV.13 dan XVIII.41
Varna seseorang didadasarkan pada guna dan karmanya.Guna artinya minat dan bakat sebagai landasan terbentuknya profesi seseorang. Jadi yang menentukan Varna seseorang adalah profesinya bukan berdasarkan keturunannya.Sedangkan Karma artinya perbuatan dan pekerjaan.
Manawa Dharmasastra X.4 dan Sarasamuscaya 55.
Hanya mereka yang tergolong Brahmana, Ksatriya, dan Vaisya Varna saja yang boleh menjadi Dwijati (Pandita) Sudra tidak diperkenankan menjadi Dwijati karena mereka dianggap hanya mampu bekerja dengan mengandalkan tenaga jasmaninya saja, tanpa memiliki kecerdasan.Yajur Weda XXV.2
Varna seseorang tidak dilihat dari keturunannya, misalnya ke-Brahmanaan seseorang bukan dilihat dari sudut ayah dan ibunya .
Kitab Mahabharata XII.CCCXII.108
Ke Dwijatian seseorang tidak ditentukan oleh ke-wangsaannya (nayonih), yang menentukan adalah perbuatannya yang luhur dan pekerjaannya yang memberi bimbingan rohani kepada masyarakat.
Jika digali lebih jauh kitab suci agama Hindu yang menjadi pegangan bagi umat, maka akan banyak ditemui penjelasan-penjelasan tentang Catur Warna ini yang intinya sama, bahwa “Warna seseorang disesuaikan dengan Profesinya”.
Selanjutnya bagaimana Aplikasi ajaran Catur Warna ini di Bali yang merupakan basis bagi perkembangan agama Hindu di Nusantara, apakah sudah dijalankan sesuai dengan yang digariskan dalam kitab suci? Untuk mengetahui hal itu mari kita mundur dahulu ke-beberapa ratus tahun yang lalu pada saat masa leuhur-leluhur orang Bali hidup dan berinteraksi dalam kehidupan
Kita mulai saja sekitar abad XI. Dimana masa itu Bali dipimpin oleh suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa yang berkuasa di Bali dari tahun saka 910 Kita mulai saja sekitar abad XI. Dimana masa itu Bali dipimpin oleh suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa yang berkuasa di Bali dari tahun saka 910 sampai dengan 933 (tahun 988 – 1011 Masehi). Sri Gunaprya Darmapatni adalah putri dari Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa Raja Daha-Jawa Timur. Sebelum dipersunting oleh Udayana Warmadewa bernama Mahendradatta, sedangkan kakaknya Sri Kameswara menggantikan ayahnya menjadi Raja Daha.. Pada jaman pemerintahan Raja suami istri ini di Bali terjadi perubahan hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Pada jaman ini dapat dikatakan jaman perubahan yang memberi corak dan warna bagi kehidupan masyarakat, dari situasi perselisihan dan pertentangan menjadi situasi persatuan dan kesatuan. Terjadinya perselisihan dan pertentangan ini akibat adanya perbedaan kepercayaan yang dianut oleh penduduk pulau Bali yang mayoritas terdiri dari orang-orang Bali Mula dan Bali Aga. Tatkala itu penduduk pulau Bali menganut Sad Paksa (Enam sekte agama ) yaitu: Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Iswara, dan Bhayu, yang mana dalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan didalam masyarakat sehingga keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Kemelut ini tidak bisa diatasi oleh Baginda Raja suami istri. Untuk itu maka didatangkan dari Jawa Timur Catur Sanak (empat bersaudara) dari Panca Tirta yang masing-masing telah dikenal keahliannya dalam berbagai bidang aspek kehidupan. Setelah di Bali beliau membantu Raja memperbaiki keadaan masyarakat. Panca Tirta ini adalah lima bersaudara yang merupakan Mpu (Brahmana) semuanya, beliau adalah dari yang tertua : Mpu Gnijaya, Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, dan Mpu Bharadah/Pradah. Kedatangan mereka ke Bali tidak bersamaan tetapi secara bertahap dimulai oleh :
1. Mpu Semeru (Mpu Mahameru)
Pemeluk agama Siwa tiba di Bali pada hari Jum,at kliwon, wara pujut hari purnamaning sasih kawulu, tahun saka 921 (tahun 999 Masehi). Beliau berparahyangan di Besakih dan menjalani hidup brahmacari (tidak kawin seumur hidup), namun beliu mengangkat putra dharma dari penduduk Bali Mula, yang sesudah pudgala bergelar Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah. Selanjutnya Mpu Dryakah ini menurunkan Warga Pasek Kayuselem (Kayu Selem, Celagi, Tarunyan, dan Kayuan). Bekas parahyangan Mpu Semeru sekarang sudah berdiri sebuah Pura diberi nama Pura Ratu Pasek (Caturlawa Besakih).
2. Mpu Ghana
Penganut aliran Ghanapatya, tiba di Bali pada hari senin kliwon, wara kuningan tahun saka 922 (tahun 1000 Masehi). Beliau berparahyangan di Gelgel Klungkung dan menjalani kehidupan Brahmacari (tidak kawin seumur hidup). Pada tahun saka 1198 (tahun 1267 Masehi) tempat ini oleh Mpu Dwijaksara keturunan beberapa tingkat dari Mpu Withadarma ( Mpu Withadarma adalah yang ketiga dari Sapta Resi)/Sapta Pandita leluhur Pasek Gelgel) dibangun sebuah Pura yang disebut Babaturan Penganggih. Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Smara Kepakisan yang dinobatkan tahun saka 1302 (tahun 1380 Masehi) Pura ini ditingkatkan menjadi Pura Penyungsungan Jagat dengan nama “Pura Dasar Bhuwana Gelgel. Disamping menjadi Pura Penyungsungan Jagat juga menjadi penyungsungan pusat 3 (tiga) warga, yaitu : Warga Pasek (Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Resi), Warga Satrya Dalem, dan Warga Pande (Maha Semaya Warga Pande). Pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Waturenggong yang dinobatkan pada saka 1382 (tahun 1460 Masehi) tiba di Bali pada tahun saka 1411 (tahun 1489 Masehi) Danghyang Nirartha (Pedanda Sakti Wawu Rauh) dan setelah menjadi Purohita kerajaan Gelgel, kemudian Pura Dasar Bhuwana Gelgel ditambah lagi satu Pelinggih (Bangunan suci) untuk Danhyang Nirartha dan keturunannya, sehingga menjadi Pusat Penyungsungan empat Warga. ( Mengenai Danghyang Nirartha akan dijelaskan kemudian yang sangat terkait dengan aplikasi Ajaran Catur Warna di Bali.).
3. Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha
Pemeluk agama Budha Mahayana, tiba di Bali pada hari Rabu Kliwon, wara pahang, tahun saka 923 (tahun 1001 Masehi). Beliau berparhyangan di Padang. Beliau hidup sewala brahmacari (selama hidup kawin hanya sekali dan berpisah dengan istrinya yang tetap di Jawa yang dikenal dengan Rangda/janda dari Girah penganut ilmu hitam) Beliau mempunyai seorang putri Dyah Ratna Menggali yang kemudian kawin dengan Mpu Bahula putra dari Mpu Bharadah, jadi masih sepupu. Ditempat Parahyangan Mpu Kuturan telah berdiri sebuah Pura yang bernama Pura Silayukti yang artinya tempat Mpu Kuturan mengajarkan kebenaran. Mpu Kuturan adalah ahli ilmu pemerintahan/tata Negara dan ahli strategi, dan atas keahliannya berhasil mengadakan pertemuan tiga aliran terbesar dari enam sekte yang hidup di Bali yang sebelumnya selalu bertentangan, tempat pertemuannya sekarang disebut Samuan-Tiga yang dulu bermakna Pertemuan tiga sekte terbesar. Beliau juga menciptakan Pelinggih (Bangunan suci) tempat memuja Brahmana, Wisnu, Siwa, yang disebut : Kemulan/ Rong Tiga sehingga aliran yang berbeda-beda itu memuja melalui satu tempat yang sama, yaitu Rong Tiga, sehingga damailah masyarakat waktu itu. Pada masa Mpu Kuturan ini juga banyak dibangun Pura-Pura seperti : Uluwatu, dll, yang pada masa Danghyang Nirartha dan sesudahnya terjadi kekeliruan dengan menganggap itu adalah tempat Pemujaan Danghyang Nirartha oleh keturunannya. Kesalahan serupa ini banyak terjadi pada Pura-Pura lainnya.
4. Mpu Gnijaya
Pemeluk Brahmaisme, tiba di Bali pada pada hari kamis kliwon, wara dungulan, sasih kedasa, tahun saka 971 (tahun 1049 Masehi). Beliau berparhyangan di Bisbis (Gunung Lempuyang), sekarang tempat parahyangan beliau telah berdiri sebuah Pura yang bernama “Pura Lempuyangan Madya”. Mpu Gnijaya dari perkawinannya dengan Dewi Manik Geni, selanjutnya menurunkan : Sapta (Tujuh) Pandita yang tidak menetap di Bali tetapi di Kuntuliku Desa, Jawa Timur, walaupun mereka sering ke Bali memuja leluhurnya. Sapta Pandita ini kemudian menurunkan : Warga Pasek di Bali (Pasek, Bendesa, Tangkas) yang jumlahnya sangat besar. Ketujuh Mpu tersebut adalah :
a. Mpu Ketek : Keturunannya dikenal dengan sebutan Pasek Toh Jiwa, termasuk disini adalah “Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan” yang petilsasnnya ada di Karangpandan, Karanganyar, Solo, Jateng. Keturunan Mpu Ketek yang bernama “Kyayi Agung Pasek Subadra” dan Kyayi Pasek Toh Jiwa” berperan besar pada jaman Samplangan, yaitu pada awal Gelgel. Putra Kyayi Pasek Toh Jiwa, yaitu Pasek Toh Jiwa menjadi Tabeng Wijeng Kerajaan Gelgel, sedangkan Putra Kyayi Agung Pasek Subadra. Yaitu : Pasek Subadra menjadi Pandita dengan gelar “Dukuh Suladri”. Keturunan-keturunan Dukuh Suladri ada yang diambil oleh : Sri Angga Tirta Ksatrya Tirta Arum, Dalem Dimadya, dan ada juga oleh Anglurah Pinatih (leluhur Warga Wang Bang Pinatih)
b. Mpu Kananda : salah seorang keturunannya adalah Ki Dukuh Sorga yang kemudian menurunkan Pemangku Kul Putih di Bali. Materi kepemangkuan Kul Putih ini banyak menjadi pegangan para Pemangku.
c. Mpu Wiradnyana : Mpu Wiradnyana berputra Mpu Wiranatha yang juga bergelar Mpu Purwanatha, berasrama di Hutan Tumapel. Beliau berputra : Mpu Purwa dan Ken Dedes. Mpu Purwanatha pernah menghukum rakyat desa Panawijen karena tidak jujur mengenai putrinya Ken Dedes yang diculik oleh Tunggul Ametung dengan keringnya sumur desa, walaupun akhirnya diampuni. Ken dedes selanjutnya menurunkan Raja-Raja di Tanah Jawa, seperti : Paku Bhuwono, Mangku Negaran, Hamengku Bhuwono, Paku Alam, dll. Mpu Purwa keturunannya di Bali dikenal dengan “Pasek Tatar”, termasuk disini adalah Ibunda Presiden Sukarno, Nyoman Rai Srimben.
d. Mpu Witadharma : keturunan Mpu Witadharma terbanyak dibanding saudaranya yang lain, yang di Bali dikenal dengan sebutan : Pasek Gelgel, Pasek Bendesa, Pasek Bendesa Mas, dan Pasek Tangkas Kori Agung (lain Ibu). Keturunan Mpu Witadharma yang berjasa menata Parhyangan di Bali adalah Mpu Dwijaksara yang membangun “Pura Dasar Bhuwana Gelgel-Klungkung” yang sebelumnya bernama “Babaturan Penganggih”. Putra Mpu Dwijaksara yang terkenal pada jaman pemerintahan di Bali adalah “Ki Patih Ulung”. Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel keturunan Ki Patih Ulung pernah menjadi Raja Bali setelah Majapahit menguasai Bali sebelum dynasty Dalem.
e. Mpu Ragarunting : Keturunannya beliau dikenal di Bali dengan sebutan : Pasek Salahin, Kubayan, dan Tuttwan. De Pasek Lurah Tuttwan kawin dengan putri Arya Timbul/ Arya Buru putra Prabu Airlangga dengan seorang gadis gunung.
f. Mpu Preteka : Keturunannya dikenal dengan Ki Dukuh Gamongan Sakti, Ki Dukuh Prateka Batusesa, dan di Bali dikenal dengan „Pasek Kubakal”.
g. Mpu Dangka : Keturunannya dikenal dengan „Pasek Gaduh, Ngukuhin, Kadangkan”. Keturunan Mpu Dangka Kyayi Lurah Dangka pernah memimpin pasukan menyerang Blambangan menyertai Kriyan Ularan (Jelantik) sehingga karena keperwiraannya diberi gelar „Sang Wira Dangka”.
Mpu Bharadah/Mpu Pradah adalah yang terkecil dari “Panca Tirta” beliau tetap tinggal di Jawa menjadi Purohita kerajaan Daha, berparahyangan di Lemahtulis-Pejarakan. Beliau menganut Budha Mahayana. Mpu Bharadah sering ke Bali menengok kakak-kakaknya terutama Mpu Kuturan dan sering berdiskusi masalah kerohanian , sehingga sekarang bekas peristirahatan beliau di Padang masih ada.
Kita kembali kepada Raja suami istri Sri Gunaprya Dharmapatni & Udayana Warmadewa. Dari perkawinannya berputra : Sri Airlangga dan Sri Anak Wungsu. Sri Airlangga diundang ke Daha Jawa Timur oleh pamannya Sri Kameswara pada usia muda (16 tahun) yang tujuannya untuk menjadi raja di Daha. Tetapi saat diadakan suatu perayaan ada pemberontakan Sri Wurawuri sehingga Sri Airlangga mengungsi kehutan. Singkatnya akhirnya Sri Airlangga berhasil menjadi Raja Daha pada saka 941 – 1007 (1019 – 1085 Masehi) dan beliau berputra Sri Jayabhaya (yang dikemudian hari terkenal dengan Jangka Jayabaya) dan Sri Jayasabha. Pada masa ini yang menjadi Bhagawanta (Rohaniawan) kerajaan adalah Mpu Bharadah/Pradah. Sehubungan dengan Sri Airlangga berputra dua orang, maka karena khawatir akan menimbulkan perselisihan kedua putra, maka diutus Mpu Bharadah untuk mendatangi saudaranya Mpu Kuturan di Bali dan membujuk agar salah seorang putra Sri Airlangga bisa menjadi Raja di Bali. Oleh Mpu Kuturan permintaan Sri Airlangga lewat Mpu Bharadah ditolak karena Sri Airlangga dianggap telah melepaskan hak tahta kerajaan di Bali dengan menjadi Raja Daha dan menghilangkan gelar Warmadewa. Disamping itu rakyat Bali tetap menginginkan kepemimpinan dinasti raja-raja Bali. Oleh karena itu, maka diangkat adik Sri Airlangga, yaitu Sri Anak Wungsu menjadi Raja Bali. Sedangkan Daha atas keahlian Mpu Bharadah dibagi menjadi dua, menjadi Daha dan Kediri, sehingga tidak terjadi perselihan kedua putra Sri Airlangga.
Sesudah itu terjadi beberapa kali pergantian pemerintahan Raja-Raja di Bali, sampai akhirnya suatu saat Bali dikalahkan oleh Majapahit . Sehubungan dengan Majapahit belum dapat menunjuk Raja di Bali, maka diangkat I Gusti Pasek Gelgel menjadi Raja di Bali bergelar “Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel” pada saka 1265 – 1272 (tahun 1343 – 1350 Masehi). Pada saka 1272 (tahun 1350 Masehi) oleh Majapahit diangkat Sri Kresna Kepakisan menjadi Adhipati (wakil Raja) di Bali. Pada awal pemerintahan Sri Kresna Kepakisan terjadi pemberontakan di Bali terutama oleh Wong Bali Mula, sehingga Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel yang sudah meninggalkan kerajaan diminta untuk hadir oleh Sri Kresna Kepakisan untuk menasehati penduduk Bali karena mereka masih tunduk kepada I Gusti Agung Pasek gelgel, setalah Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel menasehati rakyat Bali, maka amanlah di Bali dan Sri Kresna Kepakisan dapat melanjutkan kepemimpinannya. Untuk membalas jasa Pasek Gelgel dan juga strategi merangkul masyarakat, maka keluarga Pasek Gelgel dan keturunannya menjadi Bendesa (Banda=Pengikat, dan Desa=Tempat) diseluruh Bali. Siapakah Sri Kresna Kepakisan ?. Beliau adalah putra Mpu Soma Kepakisan yang juga keturunan dari Mpu Bharadah.
Berlanjut kemudian Dinasti Sri Kresna Kepakisan secara turun temurun menjadi Adipati di Bali dengan memakai nama “Dalem”. Kejadian penting adalah pada masa pemerintahan Dalem Gelgel Sri Waturenggong yang berkuasa di Bali pada saka 1382 – 1472 (tahun 1460-1550 Masehi). Pada masa ini datang dari Jawa pada saka 1411 (tahun 1489 Masehi) Danghyang Nirartha / Pedanda Sakti Wawu Rawuh, yang kemudian berhasil menjadi Purohita (Rohaniawan) Kerajaan Gelgel dibawah Sri Waturenggong. Danghyang Nirartha adalah Putra Mpu Smaranatha yang juga keturunan Mpu Bharadah. Mpu Bharadah berputra Mpu Siwagandu dan Mpu Bahula. Mpu Bahula kawin dengan Ratna Menggali (Putri Mpu Kuturan dengan Rangdeng Girah) menurunkan Mpu Tantular yang mengarang Kakawin Sutasoma. . Mpu Tantular menurunkan 4 orang Putra , yaitu :
1. Mpu Siddhimantra : menurunkan Manik Angkeran, yang selanjutnya keturunannya dikenal dengan : Arya Sidemen, Arya Wang Bang Pinatih, Arya Dauh.
2. Mpu Panawasikan : yang hanya mempunyai seorang putri bernama Dyah Sanggarwati, (selanjutnya dikawinkan dengan sepupunya Danghyang Nirartha.).
3. Mpu Smaranatha : yang menjadi Purohita di Majapahit pada masa pemerintahan Sri Hayam Wuruk Saka 1272 – 1311 (tahun 1350- 1389 Masehi) dengan Maha Patih Gajah Mada. Mpu Smaranatha berputra Ida Angsoka dan Ida Nirartha (Danghyang Nirartha).
4. Mpu Kepakisan : beliau adalah guru Mahapatih Gajah Mada. Beliau berputra 4 orang yang semuanya menjadi Adipati (wakil Raja), yaitu : di Blambangan, Pasuruan, Sumbawa (putri), dan di Bali (Sri Kresna Kepakisan).
Kembali kepada „Danghyang Nirartha” putra Mpu Smaranatha, pada tahun 1489 beliau ke Bali, pada saat itu di Majapahit sudah mulai masuk agama baru (Islam). Apakah Danghyang Nirartha pernah mempelajari agama Islam tidak jelas, tetapi di Lombok Danghyang Nirartha mengajarkan „Islam Kala Tiga (Waktu Tiga). Danghyang Nirartha beristri 6 orang tiga diantaranya di Jawa dan tiga lagi sewaktu beliau ke Bali. Istri pertama dari Kediri Jawa Timur yang keturunannya dikenal dengan „Kemenuh”, Di Pasuruan beliau kawin lagi dan keturunannya dikenal dengan „Manuaba”. Yang ketiga adalah di Blambangan, dari perkawinannya menurunkan „Kaniten”. Setelah di Bali yaitu ketika beliau singgah di Gadingwangi, dimana yang menjadi Bendesa adalah „Pasek Bendesa Mas” (Keturunan Kyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel), beliau mengawini Ni Luh Nyoman Manik Mas putri Pasek Bendesa Mas, sehingga keturunannya dikenal dengan „Mas”. Danghyang Nirartha juga mengawini Panjeroan (abdi) Ni Luh Nyoman Manik Mas dan keturunannya dikenal dengan „Petapan/Antapan”. Istri yang keenam Danghyang Nirarta adalah Ni Berit (sahayanya) ketika beliau di Bali Barat baru tiba dari Jawa, dari sini keturunannya dikenal dengan „Temesi/Bindu”. Selanjutnya karena kemampuannya, maka Danghyang Nirartha diangkat oleh Dalem Sri Waturenggong menjadi Purohita/Bahagawanta kerajaan Gelgel mewakili aliran „Siwa”. Dalem juga ingin mengangkat Danghyang Angsoka (kakak Danghyang Nirartha) menjadi Purohita, tetapi tidak terjadi karena tua dan juga sudah ada adiknya Danghyang Nirartha, maka diganti putranya „Danghyang Astapaka” mewakili „Budha Mahayana”. Danghyang Astapaka berasrama di Budakeling. Sejak itu kedudukan Para Mpu (keturunan Mpu Gnijaya) yang mewakili „Siwa Budha” dan Rsi Bujangga yang mewakili „Waisnawa”, digantikan oleh mereka berdua. Bahkan dalam bidang kemasyrakatan, Danghyang Nirartha dengan restu Dalem Waturenggong membenahi struktur pelapisan masyarakat Bali.
Pada mulanya masyarakat Bali menganut sistim warna lalu disusun berdasarkan Wangsa. Danghyang Astapaka dan Danghyang Nirartha serta keluarga menduduki pos sebagai „Brahmana Wangsa”, „Ksatrya Wangsa” diisi oleh keluarga Dalem. Para Arya (I Gusti) mengisi „Wesya Wangsa”. Ketiga ini juga disebut „Tri Wangsa”. Selanjutnya diluar itu menjadi “Sudra Wangsa”. Sudra ini juga disebut Jaba. Secara turun temurun keluarga Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka mengambil porsi Brahmana dan jika di Pudgala jati/Dwi Jati bergelar “Pedanda”. Penyimpangan system Warna menjadi Wangsa (Jaman Portugis menjadi Kasta) ini berjalan ratusan tahun dan membawa dampak tidak baik pada kehidupan masyarakat karena wangsa yang seharusnya menjadi pengikat keluarga menjadi kelompok-kelompok (soroh) dimana ada yang merasa lebih tinggi dari soroh lainnya. Usaha pelurusan ini sudah dimulai sejak lama. Pada tahun 1920 di Singaraja (Bali) muncul Organisasi “Surya Kanta” yang anti feodalisme dengan system Wangsa/Kasta bahkan menerbitkan Majalah/Surat kabar. Kemudian mendapat jawaban dari kelompok status quo (mempertahankan Kasta) dengan terbitnya “Bali Adnyana”. Kedua penerbitan tersebut gulung tikar dan juga hilang karena semangat kebangsaan dengan berdirinya Budi Utomo (1928). Pada jaman Kemerdekaan (1945) hal ini juga tenggelam karena bangsa sedang menikmati kemerdekaannya, termasuk juga pada jaman Suharto (Orde Baru) yang sangat mementingkan stabilitas nasional. Pada jaman Reformasi hal ini bangkit kembali dengan disuarakannya dimana-mana termasuk di koran/Majalah. Belakangan ini ada 2 PHDI Bali, yaitu : PHDI Campuan dan PHDI Besakih. Apakah munculnya dua PHDI Bali ini merupakan bentuk pertentangan system feodalisme di Bali ? kita lihat sama-sama.
Dari semua hal-hal diatas, maka ada beberapa materi penting yang ingin penulis sampaikan, sbb :
Leluhur kita Panca Tirta datang ke Bali untuk memperbaiki masyarakat Bali pada masa pemerintahan Gunaprya Darmapatni/Udayana Warmadewa. Hal ini berhasil dilakukan dengan terjadinya perbaikan prikehidupan masyarakat. Strata masyarakat menganut Catur Warna yang merupakan ajaran Weda.
Pada jaman Mpu Kuturan banyak dibangun Pura di Bali yang banyak terjadi kesalahan pemahaman sehingga dianggap didirikan oleh Danghyang Nirarta , seperti misalnya : Pura Uluwatu yang didirikan Mpu Kuturan untuk memuja Baruna, diangggap didirikan Danghyang Nirartha. Untuk keperluan meluruskan sejarah pembangunan Pura-Pura di Bali, maka Gubernur Bali menunjuk Jro Mangku Gde Ktut Subandi menjadi “Ketua Penelitian Pura-Pura di Bali”. Hal ini diceritrakan almarhum kepada penulis ketika beliau ke Petilasan Kyayi I Gusti Ageng Pemacekan di Karanganyar beberapa bulan sebelum meninggal..
Pada masa Pemerintahan “Dalem Waturenggong” dengan Purohita Kerajaan Gelgel “Danghyang Nirartha” dan Danghyang Astapaka” terjadi perubahan strata masyarakat dari system Warna menjadi Wangsa/ Kasta. Hal ini berlanjut ratusan tahun sejak abad ke-15. Pelurusan baik dengan munculnya Surya Kanta atau bentuk lainnya dijaman moderen ini terus berlangsung.
Masyarakat khususnya di Bali harus ikut meluruskan kesalahan masa lalu dengan menjalankan dan mempublikasikan “Catur Warna” yang bersumber dari Weda sebagai pelurusan kesalahan system Warna/Kasta. Untuk itu telah keluar Bhisama Parisadha Hindu Dharma Pusat tahun 2002, oleh : Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa (Dharma Adhyaksa) dan Ida Pandita Mpu Jaya Dangka Suta Reka (Wakil Dharma Adhyaksa).
Masyarakat tidak perlu mengambil posisi bertentangan untuk meluruskan kesalahan ini seperti : Surya Kanta vs Bali Adnyana atau yang lain, tetapi tetap menyadari, bahwa kita bersaudara dan tujuan pelurusan ini adalah untuk membawa kebaikan nama Hindu dimata masyarakat dan dunia
Orang tua kita terutama di Bali yang masih larut dalam kesalahan ini tidak perlu ditentang, tetapi diberi pengertian dengan cara bijaksana dan penuh rasa hormat, yang lebih penting lagi adalah mulailah dari diri kita sendiri.
Pada akhirnya perlu saya sampaikan, bahwa “Perjalanan masih panjang” dan masalah pemurnian aplikasi ajaran weda di masyarakat bukan hanya masalah Penyimpangan Catur Warna, tetapi masih banyak hal lain, untuk itu jalankan swadharma masing-masing sesuai dengan Warna masing-masing.

Sunday, August 16, 2009

I MADE KENENG MENUTUP USIA

Setelah 9 hari dirawat di Rumah Sakit Kasih Ibu, karena divonis mengidap penyakit Ernia dan Usus Buntu serta telah mendapat penanganan intensif dari dokter, ternyata selanjutnya

Wednesday, August 5, 2009

BHISAMA SABHA PANDITAPARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Nomor : /Bhisama /Sabba Pandita Parisada Pusat/X/2002
Tentang
PENGAMALAN CATUR WARNA
Atas Asung Kertha Wara Nugraha Hyang Widhi WasaPesamuhan Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat

Menimbang:
1. Bahwa Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat memiliki kewenangan untuk mengeluarkan Bhisama sesuai dengan Anggaran Dasar Parisada Hindu Dharma Indonesia yang ditetapkan dalam Maha sabha VIII tahun 2001 di Denpasar, Bali.
2. Bahwa Catur Varna adalah ajaran tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat berdasarkan "guna" (bakat) dan "Karma" (kerja) yang sesuai dengan pilihan hidupnya.
3. Bahwa di dalam sejarah perkembangan agama Hindu telah terjadi penyimpangan pengertian ajaran tentang Catur Varna menjadi Kasta atau Wangsa yang berdasarkan atas kelahiran (keturunan/keluarga ) seseorang.
4. Bahwa untuk meluruskan pemahaman dan pengamalan Catur Warna yang menyimpang selama ini, maka dipandang perlu menetapkan Bhisama Tentang Pengamalan Catur Varna tersebut

Mengingat :
1. Ketetapan Mahasabha VIII Parisada Hindu Dharma Indonesia Tahun 2001 Nomor: 1/Tap.M.Sabha/ VIII/ 2001 tentang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Parisada Hindu Dharma Indonesia.
2. Ketetapan Maha Sabha VIII Parisada Hindu Dharma Indonesia Nomor: II/TAP/M.Sabha/ VIII/2001 tentang Program Kerja Parisada Hindu Dharma Indonesia

Memperhatikan :
Usul-usul Sabha Walaka dan hasil pembahasan Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat pada Pesamuhan Agung Tanggal 26-27 Oktober 2002.

MEMUTUSKAN
Menetapkan :
BHISAMA SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT TENTANG PENGAMALAN CATUR VARNA SESUAI DENGAN KITAB SUCI VEDA DAN SUSASTRA HINDU LAINNYA

Pertama: Catur Varna adalah ajaran agama Hindu tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat atas "guna" dan "Kama" dan tidak terkait dengan Kasta atau Wangsa.
Kedua: Bhisama tentang Pengamalan Catur Vama ini sebagai pedoman yang sepatutnya dipatuhl oleh seluruh umat Hindu.
Ketiga: Menugaskan kepada Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat untuk memasyarakatkan Bhisama Tentang Pengamalan Catur Varna ini, beserta penjelasannya dalam lampiran Bhisama ini kepada scluruh umat Hindu di Indonesia.
Keempat: Apabila ada kekeliruan dalam Bhisama ini akan diperbaiki sebagaimana mestinya.
Kelima: Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Bhisama ini disampaikan kepada Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat untuk dilaksanakan.
Ditetapkan di : Mataram, NTB
Pada Tanggal : 29 Oktober 2002Dharma Adhyaksa Wakil Dharma Adhyaksa
Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa
Ida Pandita Mpu Java Dangka Suta Reka

Lampiran
BHISAMA SABHA PANDITA PARISADA HINDU DHARMA INDONESIA PUSAT
Nomor : 03/Bhisama /Sabha Pandita Parisada Pusat/X/2002
Tentang Pengamalan Catur Vama
PENGAMALAN CATUR VARNA.
A. Latar Belakang.
Sudah merupakan pengertian umum babwa ajaran Catur Varna yang bersumber pada wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab suci Veda dan kitab-kitab susastra Veda (Hindu) lainnya adalah ajaran yang sangat mulia. Namun dalam penerapannya terjadi penyimpangan penafsiran menjadi sistem Kasta di India dan sistem Wangsa di Indonesia (Bali) yang jauh berbeda dengan konsep Catur Varna. Penyimpangan ajaran Catur Varna yang sangat suci ini sangat meracuni perkembangan agama Hindu dalam menuntun umat Hindu selanjutnya. Banyak kasus yang ditimbulkan akibat penyimpangan itu yang dampaknya benar-benar merusak citra Agama Hindu sebagai agama sabda Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan agama tertua di dunia. Perjuangan untuk mengembalikan kemurnian ajaran Catur Varna itu sudah banyak dilakukan oleh sebagian umat Hindu. Perjuangan itu dilakukan baik oleh para cendekiawan maupun lewat berbagai organisasi/lembaga keumatan Hindu. Meskipun sangat alot namun perjuangan untuk mengembalikan kebenaran ajaran Catur Varna itu sudah menampakkan hasilnya. Seperti dalain bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan hukum semakin nampak adanya kesetaraan. Justru dalam bidang keagamaan dan sosial budaya seperti pergaulan dalam kemasyarakatan membeda-bedakan Wangsa atau Soroh itu masih sangat kuat. Dalam bahasa pergaulan sehari-hari sangat tampak adanya penggunaan sistem Wangsa yang salah itu, dipakai oleh umat Hindu. Demikian pula dalam bidang keagamaan dan adat istiadat membeda-bedakan Wangsa itu masih sangat kuat. Hal itu menjadi sumber konflik yang tiada putus-putusnya dalam kehidupan beragama umat Hindu di Indonesia (khususnya di Bali). Wacana dari berbagai kalangan umat Hindu semakin keras untuk kembali ke ajaran Catur Varna, oleh karena itu dalam Maha Sabha VIII Parisada Hindu Dharma Indonesia bulan September 2001 di Denpasar telah mengusulkan adanya penetapan Bhisama Tentang Catur Warna ini. Usulan itu didahului oleh berbagai seminar dan diskusi-diskusi. Seminar dan diskusi itu diadakan oleh Parisada maupun oleh Orinas dan lembaga-lembaga umat Hindu. Hampir setiap seminar dan diskusi ada usulan untuk kembali kepada sistem Catur Varna dengan melepaskan dominasi sistem Wangsa. Tujuan ditetapkannya Bhisama Catur Varna untuk mengembalikan secara bertahap agar proses perubahan meninggalkan sistem Wangsa yang salah itu menuju pada sistem Catur Varna lebih cepat jalannya. Sistem Wangsa agar dipergunakan hanya untuk Pitra Puja dan untuk berbakti kepada leluhur dalam menumbuhkan rasa persaudaraan di intern wangsa itu sendiri. Sistem Wangsa hendaknya diarahkan untuk mengamalkan ajaran Hindu yang benar dalam kontek kesetaraan antar sesama manusia. Sistem Wangsa itu tidak dijadikan dasar dalam sistem pergaulan/adat- istiadat sehari-hari. Seperti sistem penghormatan dalam pergaulan sosial/adat- istiadat. Menurut pandangan Hindu sesungguhnya semua umat manusia bersaudara dalam kesetaraan (Vasudeva kutum bakam). Demikian juga pandita dalam swadharmanya memimpin upacara tidak memandang dari asal usul Wangsa seseorang. Seorang setelah melaksanakan upacara Diksa menjadi pandita sudah lepas dari ikatan Wangsanya.
B. Pengertian dan Fungsi Ajaran Catur Varna Menurut Kitab Suci Veda
Tujuan hidup menurut ajaran Agama Hindu sebagaimana dinyatakan dalam kitab Brahma Purana 228.45.
Dharma artha kama moksanam sarira sadanam, artinya: badan (Sarira: Sthula, Suksama dan Antakarana Sarira) hanya dapat dijadikan sarana untuk mencapai Dhanna, Artha, Kama dan Moksa. Inilah yang disebut Catur Purusha Artha atau empat tujuan hidup. Untuk mencapai empat tujuan hidup manusia itu harus dicapai secara bertahap. Dalam Agastya Parwa dinyatakan bahwa empat tujuan hidup itu dicapai secara bertahap menurut Catur Asrama. Tahap hidup Brahmacari diprioritaskan rnencapai Dharma, tahap hidup Grhastha diprioritaskan mencapai Artha dan Kama, sedangkan dalam tahap hidup Vanaprastha dan Sannyasa Asrama tujuan hidup diprioritaskan mencapai Moksa. Untuk mewujudkan empat tujuan hidup dalam empat tahapan hidup (Catur Asrama) itu dibutuhkan empat jenis profesi yang disebut Catur Varna. Dalam kitab suci Yajurveda XXX.5 dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menciptakan empat profesi atas dasar bakat dan kemampuan seseorang. Brahmana Varna diciptakan untuk mengembangkan pengetahuan suci, Ksatriya untuk melindungi ciptaan-NYA, Vaisya untuk kemakmuran dan Sudra untuk pekerjaan jasmaniah. Dalam mantra Yajurveda XXX.11 dinyatakan Brahmana Varna diciptakan dari kepala Brahman, Ksatriya dari lengan Brahman,Vaisya dari perut-Nya dan Sudra dari kaki-Nya Brahman. Jadi semua Varna itu diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat Varna ini memiliki kemuliaan yang setara. Hal ini dinyatakan dalam mantra Yajurveda XVIII.48 untuk memanjatkan puja kepada Tuhan Yang Maha Esa, Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra sama-sama diberikan kemuliaan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keempat Varna itu akan mulia kalau sudah mentaati swadharmanya masing-masing. Dalam Bhagavadgita IV.13 dan XVIII.41 dengan sangat jelas dan tegas bahwa untuk menentukan Varna seseorang didasarkan pada Guna dan Karmanya. Guna artinya minat dan bakat sebagai landasan terbentuknya profesi seseorang. Jadinya yang menentukan " Varna" seseorang adalah profesinya bukan berdasark-an keturunannya. Sedangkan Karma artinya perbuatan dan pekerjaan. Seorang yang berbakat dan punya keakhlian (profesi) di bidang kerohanian dan pendidikan serta bekerja juga di bidang kerohanaian dan pendidikan itulah yang dapat disebut ber "varna" Brahmana. Demikian juga orang yang dapat disebut ber " varna" Ksatriya adalah orang yang berbakat dan punya keakhlian di bidang kepemimpinan dan pertahanan. Orang yang berbakat di bidang ekonomi dan bekerja juga dalam bidang ekonomi ialah yang dapat disebut Vaisya. Sedangkan orang yang hanya mampu bekeda hanya dengan menggunakan tenaga jasmaninya saja karena tidak memiliki kecerdasan disebut Sudra. Menurut Manawa Dharmasastra X.4 dan Sarasamuscaya 55 hanya mereka yang tergolong Brahmana, Ksatriya dan Vaisya Varna saja yang boleh menjadi Dvijati (pandita). Sudra tidak diperkenankan menjadi Dvijati karena mereka dianggap hanya mampu bekerja dengan mengandalkan tenaga jasmaninya saja, tanpa memiliki kecerdasan. Dvijati harus memiliki kemampuan rohani dan daya nalar yang tinggi, oleh karenanya Swadharma seorang Dvijati adalah sebagai Adi Guru Loka atau Gurunya masyarakat. Namun untuk mendapatkan tuntunan kitab suci Veda semua Varna berhak dan boleh mempelajarinya termasuk Sudra Varna. Hal ini ditegaskan dengan jelas dan tegas dalam mantra Yajurveda ke XXV.2. Vama seseorang tidak dilihat dari sudut keturunannya, misalnya kebrahmanaan seseorang bukan dilihat dari sudut ayah dan ibunya, meskipun ayah dan ibunya seorang pandita atau rsi yang tergolong ber "Varna" Brahmana, belum tentu keturunannya menjadi seorang Brahmana, seperti halnya Rawana, kakeknya, ayah dan ibunya, adalah rsi yang terpandang, namun Rawana bersifat raksasa. Prahlada di dalam kitab Bhagavata Purana disebut sebagal anak dari raksasa bemama Hiranya Kasipu, namun Prahlada adalah seorang Brahmana sangat taat beragama meskipun ia masih anak- anak. Varna seseorang tidak ditentukan oleh keturunannya ini dijelaskan dengan tegas dalam kitab Mahabharata XII. CCCXII,108 bahwa ke "Dvijati"an seseorang tidak ditentukan oleh ke "wangsa"annya (nayonih), yang menentukan adalah perbuatannya yang luhur dan pekerjaanya yang memberi bimbingan rohani kepada masyarakat.
C. Menegakkan sistem Catur Varna.
Untuk mengembalikan sistem Catur Varna dalam masyarakat Hindu di Indonesia haruslah ditempuh langkah-langklah sbb:
1. Umat Hindu harus diajak secara bersama-sama untuk menghilangkan adat-istiadat keagamaan Hindu yang bertentangan dengan ajaran Catur Varna, khususnya dan ajaran agama Hindu pada umumnya. Hal ini dilakukan melalui berbagai "metode pembinaan umat Hindu" yang telah ditetapkan dalam Pesamuan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia tahun 1988 di Denpasar yang terdiri dari : Dharma Wacana, Dharma Tula, Dharma Gita, Dharma Sadhana, Dharma Yatra dan Dharma Santi.
2. Dalam kehidupan beragama Hindu umat diajak untuk tidak membeda-bedakan pandita dari segi asal kewangsaannya. Seorang pandita dapat "muput" (memimpin) upacara yang dilaksanakan oleh umat tanpa memandang asal-usul keturunannya. Umat Hindu dididik dengan baik untuk tidak membeda-bedakan harkat dan martabat para pandita Hindu dari sudut asal " Wangsa"nya.
3. Dalam persembahyangan bersama saat "Nyiratang Tirtha" (memercikkan air suci) umat diajak untuk membiasakan menerima "Siratan Tirtha" (percikkan air suci) dari Pamangku atau Pinandita. Ada sementara umat menolak dipercikkan Tirtha oleh Pamangku pura bersangkutan. Hal itu umumnya karena menganggap Pemangku itu Wangsanya lebih rendah dari umat yang menolak dipercikan Tirtha itu. Sikap seperti itu jelas menggunakan sistem Wangsa yang melecehkan swadharma seorang Pemangku.
4. Sistem penghormatan tamu Upacara Yajna atau Atithi Yajna dalam suatu Upacara Yajna janganlah didasarkan pada sistem Wangsa, artinya jangan tamu dalam upacara yajna dari Wangsa tertentu saja mendapatkan penghormatan adat, bahkan kadang-kadang ada pejabat resmi yang patut mendapatkan pengerhonnatan yang sewajarnya, didudukkan ditempatkan yang kurang wajar dalam tata penghormatan itu.
5. Umat Hindu hendaknya diajak untuk melaksanakan upacara yajna pawiwahan yang benar, seperti kalau ada pria yang mengawini wanita yang berbeda wangsa pada saat upacara "Matur Piuning" di tempat pemujaan keluarga pihak wanita, seyogyanya kedua mempelai bersembahyang bersama.
6. Pandita seyogyanya tidak menolak untuk "Muput" upacara "Pawiwahan" (perkawinan) karena mempelal berbeda wangsa.
7. Dalam hal Upacara Manusa Yadnya "Mepandes" (Potong Gigi), orang tua sepatutnya tidak membeda-bedakan putra-putrinya yang disebabkan oleh perkawinan berbeda wangsa.
8. Tidak seyogyanya seseorang yang akan di-Dwijati / di-Abiseka kawin lagi hanya karena istrinya yang pertama dari wangsa yang berbeda.
9. Perkawinan yang disebut kawin nyerod harus dihapuskan
10. Upacara adat Patiwangi harus dihapuskan sejalan dengan hapusnya tradisi Asumundung dan Karang hulu oleh Dewan Pemerintah Bali Tahun 1951.
11. Pemakaian bahasa dalam etika moral pergaulan antar wangsa, sepatutnya saling harga-menghargai agar jangan menimbulkan kesan pelecehan terhadap wangsa lainnya.Demikian Bhisama ini ditetapkan untuk memberikan tuntunan kepada umat Hindu demi tegaknya supremasi nilai-nilai agama Hindu di atas adat-istiadat. Dengan demikian adat-istladatpun akan tetap terpelihara dengan dasar kebenaran ajaran agama. Hendaknya umat Hindu tetap memelihara adat yang menjadi media penyebaran kebenaran Veda yang disebut Satya Dharma.
Ditetapkan di : Mataram, NTB
Pada Tanggal : 29 Oktober 2002
Dharma Adhyaksa
Ida Pedanda Gede Ketut Sebali Tianyar Arimbawa
Wakil Dharma Adhyaksa
Ida Pandita Mpu Jaya Dangka Sutha Reka

Friday, July 31, 2009

Keasrian Pantai Geger Terusik



Pengerukan pasir di pantai Geger untuk mempercantik kawasan Kuta dan Nusa Dua berbuah kontroversi. Tetapi, pemerintah menggunakan pantai Geger sebagai panggung untuk saling berbalas pantun antar instansi.
Pantai memang banyak megundang inspirasi. Mulai dari pejabat yang melihat sebagai suatu lahan garapan untuk ‘dijual’ (demi apapun itu), pengusaha untuk melipatgandakan modal, kaum agamawan untuk memberi bentuk ajaran-ajaran tertentu, hingga para seniman yang menggunakan pantai sebagai tempat pelarian dari kehidupan yang keras. Namun inspirasi nyata dari pantai adalah memberi kehidupan secara langsung pada manusia atau kepada orang yang sehari-hari memang tinggal di seputar pantai, yaitu nelayan.Nelayanlah yang menerima akibat langsung dari kerusakan sebuah pantai, misalnya. Kurang lebih drama kehidupan semacam inilah yang kini sedang terjadi, saat pengerukan pasir di pantai Geger, tempat para nelayan menggantungkan hidupnya dari generasi ke generasi. Kemesraan antara nelayan dan laut tiba-tiba saja raib....Seperti diungkapkan Made Pegig (49), ketua kelompok nelayan di Sawangan. Menurutnya, dulu sebelum terjadi penyedotan pasir, karang-karang di pinggir pantai tidak terlihat karena tertutup pasir yang tebal. Namun sejak ada pengambilan pasir di laut dalam kawasan Geger, mulai tampak penurunan pasir di pesisir pantai Sawangan dan Peminge. ‘’Penurunannya mencapai sekitar 50 cm, hingga karang-karang menyembul,’’ ujarnya. Menurutnya situasi itu cukup merepotkan nelayan saat akan melaut. Karena perahu atau jukung mereka sangat rentan, rusak terkena karang.
Sebagaimana para nelayan yang lain, Pegig tidak bermaksud untuk menjadi pahlawan kesiangan. ‘’Kami sebenarnya tidak bermaksud menghalangi program pemerintah. Namun tolong, sosialisasikan dengan baik kepada masyarakat dan jangan sampai proyek yang dikerjakan menimbulkan dampak yang negatif’’, sebutnya mengingatkan.
Para penjabat instansi pemerintah memang tidak menjalankan aksi — pinjam istilah Iwan Fals — pura buta pura tuli. Terbukti persoalan ini sudah sampai di meja kelurahan hingga meja anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah Kabupaten Badung. Sungguh, betapa seriusnya persoalan ini. Tetapi seserius itukah solusi-solusi yang ditawarkan?
Ketua Forum Komunikasi Kades dan Perbekel Kabupaten Badung I Nyoman Mesir yang sempat menghadap Bupati dan Ketua DPRD Badung terkait soal pengambilan pasir, juga mengisyaratkan hal serupa. Meskipun tidak mau berbicara banyak, lelaki yang juga masih menjabat sebagai Kepala Desa Kutuh, Kuta Selatan itu menyebutkan perlunya ada koordinasi dan Memorandum of Understanding (MoU) mengenai penanganan selanjutnya dari proyek pantai tersebut.Mesir memang tidak merinci ‘konsep’nya lebih jauh, mungkin hal itu — berdasarkan hirarki birokratis — bukan wewenangnya. Tapi, anggota DPRD Badung asal Kuta Selatan, Wayan Disel Astawa mengarisbawahi apa yang disebut Mesir dengan istilah ‘koordinasi’. Dia meminta pengambilan pasir itu bisa benar-benar diawasi oleh Pemkab Badung dan Propinsi Bali sehingga tidak terjadi pengambilan besar-besaran yang berdampak luas bagi keseimbangan ekologi di sekitar pantai.‘’Perjanjiannya harus jelas, harus ada kesepakatan antara pelaksana proyek dengan masyarakat. Dan jangan sampai terjadi penjualan pasir ke luar negeri. Kalau hanya pengambilan terbatas untuk kepentingan di Badung saja, saya kira tidak masalah,’’ paparnya enteng seperti mengoper bola.Ketua DPRD Badung I Gede Adnyana menyatakan hal serupa. Menurutnya, berdasarkan pembicaraan dengan Mesir, pihaknya menekankan adanya koordinasi untuk menanggulangi kerusakan pantai yang mungkin terjadi, seperti abrasi. ‘’Jadi, perlu ada sosialisasi dan MoU antara masyarakat setempat dengan pelaksana proyek yang dilegalisir Pemkab Badung dengan DPRD Badung,’’ ujarnya.Namun akhir persoalan ini menunjukkan titik temu. Meskipun pada awalnya, banyak warga di sekitar pantai tersebut mengeluhkan akibat yang mungkin ditimbulkan dari aktivitas pengerukkan pasir, toh akhirnya mereka menyerah.Kepala Lingkungan Sawangan, Nyoman Reta tidak menampik soal awal proyek pengambilan pasir itu ditolak warga. Namun karena pengambilan pasir terus berlangsung dan merupakan proyek yang tidak bisa dihentikan, pihaknya mengambil jalan tengah. Dalam sosialisasi lanjutan dan pertemuan yang difasilitasi Pemkab Badung, Dinas Cipta Karya dan pihak terkait lainnya, akhirnya disepakati beberapa hal untuk mengurangi dampak terhadap masyarakat. Kesepakatan itu berupa semacam kompensasi sebagai wujud komitmen pelaksana proyek untuk tetap menjaga lingkungan yang masih ada di sekitar pantai.Socialization Expert dari pihak konsultan Bali Beach Conservation Project Nippon Koei Co., LTD & Associates dan PT.Tata Guna Patria, I Nengah Rasna, S.T menyebutkan, pihaknya memang telah melakukan pengukuran untuk penataan di Banjar Sawangan seperti Pura Pengastulan, Pura Banjar, Bale Kulkul, Balai Nelayan, Pura Telaga Waja, serta penataan parkir di kawasan Pura Geger dan penyengker Banjar Peminge. Setelah diukur, akan dihitung biaya pelaksanaannya dan keputusan untuk mewujudkannya ada pada Dinas PU dalam hal ini melalui Balai Wilayah Sungai Bali-Penida. Dia juga menjelaskan, proyek penataan Pantai Kuta akan berakhir Desember tahun ini. Sebelumnya telah dilakukan beberapa langkah seperti survai pada Agustus lalu dan pengambilan pasir hingga Oktober.Posisi pengambilan terletak 5 mil di tengah pantai. Pasir diambil dari palung yang terdapat pada pantai itu. Untuk mengambilnya dipergunakan peralatan dari satu kapal pengambil pasir yang disewa dari Eropa, tepatnya Belanda. Volume pasir yang diambil adalah sekitar 650.000 m3. Saat ini sejumlah 150.000 m3 pasir telah distok di kawasan Pantai Mertasari, Sanur Kauh. Sedangkan untuk pengisian di Pantai Kuta diperlukan pasir sebanyak 500.000 m3.Dia menjamin, pasir itu hanya dipergunakan khusus di wilayah Badung, tidak dibawa keluar daerah. Soal ketakutan warga bahwa akan terjadi abrasi akibat pengambilan pasir itu, menurut Rasna itu adalah fenomena alam. ‘’Abrasi terjadi bukan karena pengambilan pasir, melainkan gejala alam akibat perubahan angin, gelombang dan juga pengaruh global warming. Jadi, meskipun tidak ada pengambilan pasir, abrasi tidak mungkin terhindari,’’ ucapnya.
Proyek penyedotan pasir di pantai Geger-Sawangan merupakan kelanjutan penataan pantai di kawasan Bali Selatan yang telah dimulai 2003 lalu. Pengambilan pasir di kawasan Geger adalah proyek untuk mempercantik Pantai Kuta. Pasir Geger akan dipindahkan dan diisikan ke kawasan pantai yang banyak mengisi pundi-pundi pendapatan Badung dari bidang pariwisata tersebut.Lepas dari saling tunjuk antara masyarakat dan negara, pantai Geger secara fisik sudah menunjukkan tanda-tanda bopeng demi untuk mempercantik ‘saudara’nya, yaitu kawasan pantai Kuta dan Nusa Dua. Kalaupun toh pantai Geger bisa bersedu-sedan, tentu ia akan bernyanyi lagunya Seventeen, “Mengapa selalu aku yang mengalah......”
Kronologis Pengambilan Pasir di Pantai GegerBerdasarkan data dari Balai Wilayah Sungai Bali-Penida, pengambilan pasir di kawasan Pantai Geger berawal dari rusaknya kondisi pantai berpasir putih di Bali Selatan yaitu Pantai Sanur, Nusa Dua dan Kuta. Terjadi erosi dan abrasi yang cukup parah di kawasan pantai ini yang memerlukan penanganan segera. Sampai akhir 1960-an, masih terdapat pantai-pantai berpasir putih yang indah di Bali Selatan. Namun seiring pembangunan industri pariwisata yang pesat dan juga karena faktor alam, terjadilah erosi dan abrasi di kawasan pantai tersebut. Untuk merehabilitasi pantai-pantai yang rusak di Sanur, Nusa Dua dan Kuta itu, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum (PU) melalui Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu Pengamanan Daerah Pantai Bali Selatan melakukan proyek pengamanan Pantai Bali dengan dana pinjaman dari Japan Bank For International Cooperation (JBIC), Loan IP-475. Proyek ini terdiri dari empat paket yaitu Paket I: Pantai Sanur, Paket II: Pantai Nusa Dua, Paket III: Pura Tanah Lot dan Paket IV: Pantai Kuta.
Proyek pengamanan Pantai Bali berjalan melalui proses yang cukup panjang. Berawal mulai tahun 1970-an yang dimulai dengan identifikasi masalah erosi di Pulau Bali. Lalu pada tahun 1987-1988 diadakan studi kelayakan mengenai proyek tersebut. Selanjutnya pada 1991-1993 dibuatlah desain detail. Kemudian pada 4 Desember 1996 dilakukan penandatanganan persetujuan pinjaman JBIC Loan IP-475. Pada tahun 1997-1998 dilaksanakan kaji ulang desain detail (lebih lengkap, lihat: Tabel Kronologis Pengerukan Pasir di Pantai Geger). Untuk merehabilitasi pantai berpasir, perlu dilakukan pengisian pasir. Namun jika hanya dilakukan pengisian pasir, pasir tersebut akan hanyut keluar terbawa arus laut. Setelah melalui sosialisasi dan konsultasi publik berkali-kali, akhirnya masyarakat Kuta menyetujui pembuatan tiga bangunan pemecah gelombang bawah laut sebagai upaya meminimalisasi kehilangan pasir. Pekerjaan pengamanan pantai Kuta mencakup pengisian pasir awal, dan pembuatan tiga pemecah gelombang, renovasi tembok pantai (revetment), penataan lansekap dan pembuatan walkway serta fasilitas publik lainnya. Selain itu karena pasir pantai rentan terhadap terpaan gelombang, untuk mempertahankannya dalam jangka waktu lama, perlu ada pengisian pasir kembali beberapa tahun setelah pengisian pasir awal selesai. Untuk memenuhi kebutuhan itu, disediakan cadangan pasir yang diletakkan di Pantai Mertasari. (LS)
Tabel Kronologis Pengerukan Pasir di Pantai Geger
Tahun 1970-an
Identifikasi masalah erosi di Pulau Bali
1987-1988
Studi kelayakan mengenai proyek
1998-2003
Sosialisasi dan konsultasi publik tentang paket IV: Pantai Kuta
1999-2003
Pelaksanaan pekerjaan paket III: Tanah Lot
2001-2005
Pelaksanaan pekerjaan paket I: Sanur & Paket II: Nusa Dua, Tj Benoa
21 Juni 2006
Dimulainya pelaksanaan paket IV: Kuta
Petak Umpet di Pantai Selatan
Pro-kontra pengambilan pasir di kawasan pantai Geger-Sawangan terus bergulir. Tak lama proyek ini harus dirampungkan. Bagaimana dampak ditimbulkan proyek ini, bagaimana pula solusinya?Mengecewakan tentu, karena sikap para eksekutif dan legislatif di Badung menafikan persoalan di Geger. Kepala Balai Wilayah Sungai Bali-Penida, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Ir. I Nyoman Ray Yusha, M.M menyebut proyek tersebut telah melalui kajian matang, sesuai prosedur, dan telah dilengkapi analisis dampak lingkungan (Amdal). Menurutnya, hal ini sudah dilakukan pihak berkompeten. Dia menampik tudingan, pejabat tidak punya keberpihakan kepada permasalahan lingkungan.
Semata melihat sisi untungny saja. ”Sebagai pihak pelaksana kami punya kesadaran ekologi, tidak terbersit sedikit pun hendak merusak lingkungan di Bali, khususnya di Badung,’’ tegasnya.
Lelaki asal Desa Tajun, Buleleng itu berharap masyarakat tidak cemas berlebihan, karena pasir itu tidak dikeruk seperti disangka selama ini. Menurutnya, pasir yang diambil sekitar 5 mil ke tengah laut dalam di Sawangan, itu kira-kira hanya setebal 20-40 cm. Pengambilannya dilakukan merata di hamparan pantai sepanjang Geger-Sawangan dan tidak ada lubang besar yang ditimbulkan dari pengerukan tersebut. Lagipula jumlah pengambilan pasir itu masih proporsional. Sesuai volume pasir yang sangat banyak di kawasan pantai tersebut, jumlah 650.000 m3. Menurut Ray Yusha, itu tidak terlalu banyak. ”Pasir itu juga tidak dibawa keluar Badung, hanya dipergunakan di pantai Kuta. Alasanya, karena jenis pasir sama dengan yang ada di pantai Kuta,’’ ujarnya.Pemerhati kelautan, Ir.I Gusti Agung Putu Eryani, M.T berpendapat serupa. Perempuan yang juga dosen Teknik di Universitas Warmadewa ini mengaku setuju saja dengan pengambilan pasir, asalkan tetap dipergunakan di dalam wilayah Bali, tidak dibawa keluar. Ditegaskan, pengambilan pasir itu bisa saja dilakukan asal untuk kepentingan lingkungan dan melestarikan pantai, bukan untuk dijual. Yang penting, pelaksana proyek mesti tetap berpedoman pada Amdal. Perempuan lulusan S2 Teknik Pantai Universitas Gajah Mada Yogyakarta 1995 ini menjelaskan, keberadaan pasir merupakan proses alami pantai dan akan terus berlangsung, meskipun dalam jangka waktu cukup lama.
Ditegaskan, adanya pasir putih yang banyak terdapat pada sebuah pantai mengindikasikan bahwa, karang dan biota yang ada di sekitarnya hidup dan bertumbuh dengan baik. Namun pasir yang bertumpuk dan menutupi karang juga tidak baik bagi pertumbuhan terumbu karang. Sebenarnya, lanjut Eryani, “Tidak perlu ada cemas. Pasir yang diambil itu tidak terlalu berpengaruh terhadap kelestarian biota laut di sekitarnya. Asal mengikuti kajian Amdal dan penanganan lanjutan di sekitar wilayah setempat, saya kira tidak ada persoalan serius,’’ paparnya.
Namun demikian, perempuan murah senyum itu menekankan perlunya pengawasan terhadap proyek pengambilan pasir tersebut, termasuk posisi kapal. Pengawasan itu bisa dilakukan juga pihak desa adat setempat. Tujuannya untuk memastikan pasir itu telah diambil sesuai ketentuan. Karena apabila diambil berlebihan, pastinya berpengaruh terhadap keberadaan biota dan ekologi laut disana.Di kalangan DPRD Badung, perdebatan pengambilan pasir pantai Geger selesai, sudah. Saat ini penolakan justru datang dari pihak DPRD Bali. Dalam pertemuan antara Komisi I DPRD Bali dihadiri ketua I Made Arjaya dengan Kepala Dinas PU Bali I Nyoman Sudiana, dan utusan dari Bapedalda, diwakili I Gede Wardana, mencuat juga persoalan Amdal. Akhirnya disepakati pengambilan pasir di pantai Geger dihentikan, menunggu hasil analisi Amdal berikutnya. Memang sebagaimana dikatakan Ketua Komisi I DPRD Bali I Made Arjaya, pengambilan pasir sebaiknya dihentikan, menunggu tim Amdal yang mengkaji ulang dampak proyek itu. Apabila tim Amdal yang baru telah merekomendasi, pengerukan bisa dilakukan. Memang selama ini ada Amdal yang dijadikan acuan melakukan pengerukan, tetapi Amdal itu berlaku untuk kawasan Nusa Dua, yang volume pengambilannya hanya 250.000 m3. Sedangkan pengerukan yang dilakukan di Geger volumenya mencapai 650.000 m3.
Pihak Bapedalda Bali menuding tidak pernah mendapat tembusan maupun koordinasi dari pelaksana proyek ini. Semestinya ada tembusan karena pengambilan pasir menyangkut lingkungan Bali secara keseluruhan. Untuk itu, sebelum proyek dilaksanakan mesti ada kajian Amdal. Ditambahkan, kualitas pasir di Geger tergolong bagus dan sejenis dengan pasir di Pantai Kuta.Apapun persoalan yang mengemuka, ada pelajaran bisa direnungkan para pembuat kebijakan. Proyek pengambilan pasir di Pantai Geger menunjukkan diskriminasi, alias tak adil. Soalnya, pasir dikeruk di Sawangan yang untung justru orang Kuta. Hanya karena pantai Kuta mendulang banyak dollar. Kini perbaikan diprioritaskan di pantai tanpa peduli keberlangsungan biota laut serta ekologi Pantai Geger-Sawangan.
Pengambilan pasir hanyalah salah satu persoalan pantai di Bali. Masih ada persoalan lain yang perlu dipetakan secara cermat dan dicarikan solusi terbaik. Yang terpenting, penanganan pantai dilakukan menyeluruh, bukan parsial. Selama ini penanganan pantai di Bali kurang optimal karena minimnya dana sehingga perbaikan dilakukan secara bertahap. Kerusakan pantai pun merembet, susul menyusul. Satu kawasan pantai diperbaiki, penggerusan di kawasan lain terjadi. Begitu seterusnya hingga persoalan abrasi masih terus mengusik hingga saat ini.
Penanganan pantai secara fisik juga bukan satu-satunya hal yang penting. Lebih dari semuanya adalah menjaga kesadaran untuk senantiasa mencintai, menghormati dan menjaga keberadaan pantai agar tetap lestari. Sehingga keindahan dan vibrasi sucinya meneguhkan bahwa Bali memang layak memilikinya. (LS)Yang Berkawan dengan LautSungguh mulia keberadaan laut. Setidaknya bagi orang-orang yang berkawan dengannya, hidup dan dihidupi oleh laut. Begitulah gambaran yang dirasakan Made Pegig (49), seorang nelayan di Sawangan. Lelaki itu berkarib dengan lautan sejak tahun 70-an. Sejak kecil dia berkawan dengan laut, pelajaran yang turun temurun dia ketahui dari orangtuanya. Memang, tidak mudah hidup dari laut. Banyak hal yang mesti dipahaminya. Ombak besar bisa tiba-tiba menggulung, angin kencangpun kerap menerpa tanpa ampun tubuhnya yang mulai renta. ‘’Saya paling takut kalau di laut ada angin ngelinus (angin puyuh),’’ sebutnya. Toh, Pegig bertahan melakoni pekerjaannya, hingga saat ini.Lelaki yang memiliki 3 anak dan satu cucu itu merasa menjadi nelayan adalah kemampuan terbaiknya. Secara alami dan secara naluri dia meyakini pilihan hidupnya. Meski pantai tidak selalu menjanjikan perolehan ikan yang banyak, dia tetap bersyukur karena masih bisa hidup dan menghidupi keluarganya dari mencari ikan di laut. Biasanya dia melaut pukul 15.00 wita dan kembali pukul 19.00 wita.Setiap kali melaut, Made Pegig memerlukan solar sekitar 10 liter untuk mengisi mesin jukungnya. Dalam sehari, bila cuaca baik, dia bisa memperoleh ikan sekitar 30 kg. Ikan yang sering diperolehnya adalah jangki atau kakap merah. Ikan itu dijualnya ke restoran di sekitar kawasan tersebut. Harga perkilo ikan Rp 18 ribu hingga Rp 25 ribu, tergantung jenis dan ukuran ikan yang didapatkannya. Istrinya, Ketut Sungkreng kadang-kadang juga membantunya menjual ikan.
Seperti kearifan lokal manusia Bali pada umumnya, Pegig juga percaya ala ayuning dewasa. Ketikan pertama kali melaut, yang dilakukannya adalah mencari dewasa baik. Dia juga belajar sedikit tentang perbintangan, belajar tentang purnama dan tilem agar bisa menerka-nerka situasi gelombang laut. Di tengah laut, dia menebarkan perlengkapan memancingnya, menggunakan bulu-bulu kain yang bisa dipakainya selama sekitar 10 hari. ‘’Saya juga megikuti arah terbangnya burung-burung karena biasanya itu pertanda ada ikan di sekitarnya,’’ jelas Pegig.Namun kenyamanannya berkawan dengan laut, belakangan ini terusik. Sejak banyaknya pembangunan di sekitar pantai akibat pariwisata, dia merasa ada hal yang hilang dan berubah. Kerusakan laut terjadi dimana-mana seperti abrasi, sampah dan lainnya. ‘’Ya, terutama abrasi dan pengambilan pasir yang mengakibatkan karang-karang bermunculan sehingga saya harus lebih hati-hati saat menurunkan jukung,’’ ujarnya. Harapannya sederhana saja. Dia ingin pemerintah berbuat sebaik-baiknya dengan tetap memperhatikan lingkungan. Kalaupun ada proyek yang akan dilaksanakan, sebelumnya harus melakukan sosialisasi dengan masyarakat setempat