Tuesday, February 24, 2009

MAKNA DAKSINA LINGGIH

Dalam Pandangan Veda, agama Hindu meyakini bahwa Tuhan itu bersifat Monotheisme Transendent, Monotheisme Imanent, dan Monisme. Monotheisme Transendent, yaitu tuhan yang digambarkan dalam wujud yang Impersonal God (Tuhan yang tidak berpribadi). Tidak ada satu kekuatan apapun yang dapat menjangkauNya (Acintya) Monotheisme Imanent, yaitu penggambaran Tuhan sebagai Personal God (Tuhan yang berpribadi), dalam hal ini Tuhan telah memiliki sifat, seperti; maha pengasih, maha penyayang, maha tahu dan sebagainya, dan salah satu wujud dari Tuhan itu digambarkan melalui simbol-simbol, seperti Daksina Linggih sebagai salah satunya. Dalam Bhagavadgita, ada dijelaskan “bahwa pemujaan Tuhan dengan menggunakan media jauh lebih mudah dan efektif dibandingkan dengan memujaNya tanpa media”. Karena dapat dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat, sebagai bentuk puja bhaktinya.

Pokok-pokok ajaran agama Hindu didasarkan atas berbagai tradisi. Di dalam bahasa kawi atau bahasa sanskerta pelaksanaan ini disebut drsta atau acara. Kebiasaan atau tradisi ialah tingkah laku manusia baik perorangan maupun kelompok masyarakat yang didasarkan atas suatu kaidah-kaidah hukum yang ajeg. Biasanya kaidah-daidah ini diikuti berdasarkan apa yang telah berlaku atau dilakukan oleh orang-orang tua yang dianggap sebagai sesepuh atau tingkah laku para Maharsi, atau orang-orang terkemuka yang merupakan tokoh-tokoh agama Hindu yang dianut mereka. Berdasarkan bentuknya sumber drsta atau acara ada yang bersumber pada kitab-kitab suci dan kitab-kitab agama Hindu lainnya yang dianggap suci.

Tingkah laku yang berdasarkan kaidah-kaidah tertulis di dalam kitab suci disebut menurut Sastra Drsta. Sebaliknya kaidah-kaidah yang diikuti berdasarkan kebiasaan yang tidak bersumber pada kitab suci melainkan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan tempat setempat disebut loka drsta atau desa drsta. Loka Drsta ini lebih lazim disebut desa-acara (desacara). Desa ini dibeda-bedakan antara kula drsta (kula acara) dan warna acara. Kula acara ialah kebiasaan-kebiasaan yang diikuti oleh sekelompok keluarga dan merupakan tradisi keluarga. Dengan demikian di dalam satu daerah terdapat beberapa tradisi yang mungkin berbeda antara yang satu dari yang lainnya. Varna Acara yaitu tradisi yang diikuti oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Kelompok masyarakat ini secara tradisional disebut kelompok kasta atau di dalam ilmu sosial kelompok ini disebut kelas masyarakat (soscial group) menurut kekaryaannya. Menurut agama Hindu, kedua jenis drsta ini diakui adanya dan merupakan sistem sosial yang mengakibatkan individu dengan kelompoknya sebagai satu masyarakat yang disebut Dharma Santana, yaitu masyarakat yang hidupnya diatur berdasarkan Dharma atau Sanatana Dharma. Sanatana Dharma adalah nama lain untuk agama Hindu. Sanatana Dharma inilah nama asli Hindu.

Adapun nama Hindu yang sekarang lazim dikenal di dunia ilmu dan telah dipergunakan sendiri karena nama itu diberikan oleh orang yang bukan Hindu. Nama itu diberikan kepada kelompok masyarakat yang memiliki agama dan tradisi Dharma itu. Karena mula-mula ajaran Dharma itu berasal dari lembah sungai Indrus (Sindhu), salah satu sungai yang besar yang terdapat di Pakistan. Ajaran Dharma itu dikenal dengan nama Indrus Culture atau kebudayaan lembah sungai Sindhu (Indus).

Di dalam pengucapan, perubahan lafal “S” ke “H” mempengaruhi ejaan Shindu menjadi Hindu yang kemudian ditulis Hindu hingga sekarang. Jadi istilah ini berasal dari penamaan orang luar.

Ajaran Dharma atau Sanatana Dharma yang sekarang kita kenal dengan Nama Hindu, berdasarkan pokok-pokok ajaran dan kaidah-kaidah beserta ibadahnya pada Drsta, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Kaidah-kaidah yang tertulis itu merupakan kaidah pokok yang mengatur apa yang harus dilakukan atau dihindari, apa yang baik dilakukan dan yang tidak baik dijalankan, yang dianjurkan dan ada pula yang bersifat umum dengan janji akan memperoleh pahala kalau dilakukan atau tidak dilakukan. Ajaran ini sangat luas dan banyak. Semua kaidah itu diajarkan dengan maksud tertentu yang merupakan tujuan atau hakikat dari hidup beragama. Tujuan ini secara definitip ditegaskan di dalam ajaran dharma (agama Hindu). Karena kepercayaan (Sraddha) inilah maka masyarakat Hindu menganggap bahwa Daksina Linggih dalam suatu sarana upacara ritual keagamaan yang berlangsung di masing-masing tempat suci (Pura) sangat diyakini sebagai perwujudan Tuhan yang akan disembah. Maka konsep ketuhanannya sangat kental pada masyarakat Hindu, khususnya agama Hindu di Indonesia.

Karena sifat keimanan di dalam agama bersumber dari sabda apakah itu wahyu atau dikatakan oleh orang terpercaya, karena itu agama adalah mencakup aspek agama pramana. Keimanan ini sangat luas dan dikembangkan terus. Keimanan ini ciri khas dari suatu agama. Agama diwarnai oleh sistem keimanannya. Keimanan disebut Sraddha. Bangunan suatu agama diwarnai oleh sistem keimanannya. Salah satu yang menonjol di dalam agama Hindu adanya ketentuan yang menganjurkan untuk memperkembangkan pokok-pokok keimanan itu. Pengembangan ini mempunyai konskwensi berkembangnya dan meluasnya isi keimanan, disesuaikan menurut adat dan tradisi setempat. Sraddha sebagai kepercayaan dirumuskan sebagaimana terbaca di dalam Atharvaveda XII,1.1;

“satyam brhad rtam ugram diksa, tapa brahma yajna prthivim dharayanti;

“sesungguhnya satya brhad rtam ugram diksa, tapa brahma dan yajna yang menyangga dunia”

Dengan sloka itu maka dijelaskan bahwa dunia ini ditunjang oleh Satya Rta, Diksa, Tapa Brahma dan Yajna. Adapun dharma yang menyangga dunia terdiri dari Satya Rta, Diksa, Tapa Brahma dan Yajna itu sehingga dengan demikian keenam unsur itu merupakan dharma yang memelihara kehidupan ini. Dalam Yayurveda XIX, 30 dan 77 yang mengatakan: Sraddhaya Sathyam Apyate (dengan Sraddha orang akan mencapai Tuhan). Ssraddham Sathye Prajaptih (Tuhan menetapkan, dengan Sraddha menuju kepada (Sathya). Dalam uraian lainnya dapat pula kita jumpai ketentuan yang mengatakan:

“Vratena diksam apnoti, Diksayapnoti daksinam, Daksinam sraddham apnoti, Sraddhaya satyam ayate”

Dari uraian itu, jelas bahwa Sraddha mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu di dalam agama Hindu. Dengan berpedoman pada Sraddha itulah berbagai dasar pengertian keagamaan agama Hindu akan dapat dijelaskan. Karena itu Sraddha adalah kerangka dasar yang membentuk berbagai ajaran di dalam agama Hindu yang perlu diyakini dengan penuh pengertian.

Bentuk, Mutu, dan Fungsi Upakara Daksina Linggih

Daksina Linggih mempunyai bentuk yang sangat artistik, yang dibuat dengan menggunakan bahan-bahan pilihan yang terbaik sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk persembahan dan sekaligus untuk disembah sebagai simbol Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa. Mutu Daksina Linggih ditentukan oleh cara pembuatannya, bahan-bahan yang dipergunakan diharapkan menggunakan bahan yang bermutu dan cara membuatnya dilandasi dengan pikiran yang suci.

Mutu upacara yajna: Dalam pustaka suci (Bhagavadgita XVII.11-13) disebutkan ada tiga sifat yajna yaitu: Yajna yang bersifat sattvika ialah yajna yang dilaksanakan menurut petunjuk kitab-kitab suci, yang dilakukan tanpa mengharapkan pahala dan percaya sepenuhnya bahwa upacara ini dilaksanakan adalah sebagai tugas dan kewajiban. Upakara yajna ini dapat dikatakan sattvika jika dalam pelaksanaannya terdapat unsur-unsur yang melengkapi seperti, sraddha yaitu penuh dengan tuntunan sastra, mantra yaitu ada sulinggih yang memuput, ada gita yaitu kidung-kidung suci yang dikumendangkan, ada daksina yaitu pemberian kepada yang memuput upakara, nasmita yaitu tidak ada unsur pamer, lascarya yaitu dilakukan dengan ketulusan hati dan anasewa; ada jamuan makanan kepada pemedek yang hadir. Jika semua ini terpenuhi barulah yajna bisa dikatakan sattwika.

Yajna yang bersifat rajasika: ialah yajna yang dilaksanakan dengan penuh kemegahan, hanya semata-mata menonjolkan kemampuannya atau keakuannya.

Yajna yang bersifat tamasika yaitu yajna yang dilaksanakan tidak melalui aturan, tanpa mantra, tanpa daksina, tanpa menghidangkan makanan dan tanpa keimanan.

Penggunaan Daksina dalam Upacara Deva Yajna.

Dalam Pujawali atau Piodalan di Pura Agung Tirtha Buana selalu menggunakan sarana Daksina Linggih sebagai simbol untuk pemujaan Yang dimaksud dengan penggunaan daksina di sini adalah peran serta fungsi daksina itu sendiri dalam upacara Deva Yajna. Mengingat penggunaan daksina dalam upacara Deva yajna cukup banyak, baik jumlah maupun jenisnya dan hampir setiap upacara Deva yajna menggunakan daksina, maka penulis akan mencoba untuk memaparkan sesuai dengan keterbatasan kemampuan, kegunaan daksina dalam upacara Deva Yajna saja, yang sesuai dengan penelitian dan kajian yang telah ditetapkan, dengan harapan dan tujuan tidak akan terjadi kesalahan pemaknaan. Ada beberapa fungsi Daksina Linggih dalam upacara, yaitu:

Daksina Lingggih/pralingga atau Tapakan yang berarti Sthana

Yang artinya tempat duduk. Hal ini dapat kita jumpai pada waktu kita melaksanakan upacara Deva yajna yaitu disebut upacara nedunang Bhatara. Upacara ini adalah merupakan upacara permohonan kehadapan Ida Bhatara (Deva sebagai manifestasi Hyang Widhi) agar beliau berkenan turun hadir di pura tersebut sedang melaksanakan pujawali/ piodalan, untuk memberikan waranugraha, menerima an menyaksikan pelaksanaan upacara yajna yang berupa persembahan oleh umatnya. Adanya istilah Ida Bhatara Tedun (turun) ke pura adalah karena keyakinan umat Hindu bahwa alam Devata yang suci itu berada di atas alamnya manusia yakni di alam Svah Loka (sorga). Upacara Ngenteg Linggih, ialah upacara mensthanakan Ida Bhatara pada Daksina pelimggih yang telah dipersiapkan sebelumnya dan sekaligus memohon perkenan beliau untuk berada atau duduk di Pelinggih (bangunan suci) masing-masing. Melalui upacara Nedunang dan Ngelinggihan ini nejadikan umat Hindu semakin mantap dapat merasakan kehadiran Hyang Widhi dalam rangka menyaksikan dan menerima yajna dari umatnya.

Daksina Linggih tempatnya disebut bedogan yang terbuat dari janur. Kemudian bedogan tersebut dialasi wakul/ bakul dari bambu yang bentuknya menyerupai selinder, di samping wakul dari bambu masih diberi alas bokor, yaitu sebuah tempat yang menyerupai mangkok yang terbuat dari emas, perak atau bahan dari logam lainnya. Selanjutnya diberi serobong yang terbuat dari daun janur atau ental (daun lontar), adapun gegantusan isinya terdiri dari tampak, beras, benang tukelan, kelapa, , pesel-peselan, bija ratus, pisang, telur itik, uang kepeng, khusus untuk daksina linggih/pralingga selain uang kepeng yang ditempatkan di kojong, juga menggunakan uang kepeng yang diikat sedemikian rupa sehingga membentuk lingkaran, jumlahnya 225 buah untuk landasan bawah yang disebut lekeh. Delengkapi dengan canang payasan yang tempatnya berbentuk segi tiga (ituk-ituk) dilengkapi dengan porosan, merupakan unsur terpenting yang dibuat dari daun sirih, irisan pinang, dan kapur. Ketiga bahan ini digabung menjadi satu diikat denga janur, lalu di atas porosan ini diberi bunga segar dan harum. Bagian luarnya yaitu bedongannya diberi wastra (kain putih kuning seperti layaknya kita memakai kain).

Daksina Linggih ini dilengkapi dengan peperai/wajah/ muka, bisa terbuat dari janur yang menyerupai cili (berbentuk kipas) atau daun lontar yang dibuat sifatnya permanen dengan maksud bisa disimpan dan dapat dipergunakan pada waktu kesempatan lain. Model atau bentuknya bisa dibuat bermacam-macam sesuai sesuai dengan seni yang membuatnya.

Untuk peperai (bentuk/ wajak/ muka) ini bisa juga dibuat dari bahan kawat, bentuk ini pada kelompok upakara dikenal dengan nama dendeng ai. Bentuk lain dari pererai ini bisa juga dibuat dari lempengan kayu cendana, lempengan logam seperti perak, emas, yang mengembil bentuk lebih riil, yaitu dibuat atau dilukis seperti muka manusia ada mata, alis, mulut dan sebagainya. Kemudian dihias dengan menambahkan bunga-bunga segar yang berwarna putih kuning atau bunga yang dibuat dari emas atau perak. Dengan tambahan kain atau wastra, pererai yang dihias membuat Daksina Linggih berbeda dari daksina alit/ kecil pada umumnya dalam penampilannya. Daksina Tapakan/Linggih pada umumnya dipergunakan pada waktu ada pujawali/ Piodalan di pura-pura. Biasanya daksina ini diletakkan di depan padmasana atau pada bangunan suci di pura yang sedang melangsungkan upacara piodalan.

Daksina sebagai simbol Hyang Tunggal/ Hyang Guru:

Membuat sarana perlengkapan daksina yang begitu lengkapnya sehingga dianggap cukup untuk mewakili isi seluruh alam semesta yang ada. Maka dengan demikian daksina diartikan sebagai satu kesatuan dan sekaligus sebagai simbol Hyang Tunggal atau Hyang Guru sebagai manifestasi dari Deva Siva sebagai penguasa alam semesta ini.

Daksina sebagai sarana persembahan dalam upacara Yajna:

Daksina adalah sarana perlengkapan yang paling penting dari beberapa jenis upacara Yajna. Sebesar dan semegah apapun pelaksanaan upacara Deva Yajna, tanpa menggunakan sarana daksina, maka upacara itu belum dianggap sempurna karena menggunakan daksina dianggap sebagai media untuk mendekatkan diri dan mewujudkan kuasa Tuhan, agar tercipta hubungan manusia sebagai bakta yang akan menyembah Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa yang akan disembah.

Daksina sebagai cetusan rasa terima kasih:

Daksina dipersembahkan oleh para baktanya, untuk menyampaikan rasa angayubagia kepada Hyang Widhi beserta manifestasiNya, karena apa yang dimohon bakta dalam melaksanakan dharmanya sehari-hari sebagai umat Hindu mendapatkan sesuai yang diinginkan. Fungsi lain dari daksina ini adalah sebagai sarana untuk media menyempaikan terima kasih kepada para sulinggih atau para pinandita yang ditugaskan untuk melaksanakan/ memuput upacara, juga sebagai bukti rasa bhakti para umatnya disatu sisi merupakan bentuk pelayanan para pandita dan pinandita kepada umatnya.

Daksina untuk memohon keselamatan

Sebagai manusia yang sangat menyadari bahwa jauh dari sempurna, sehingga manusia tidak akan luput dari kesalahan/ khilap serta segala kekurangan-kekurang an, kesalahan dan lupa karena keterbatasan pikiran maka perlu melaksanakan permohonan keselamatan. Khususnya bagi para tukang banten (Serati Banten) kehadiran banten daksina sebagai Sthana Hyang Widhi mutlak sangat diperlukan. Hyang Widhi sebagai manifestasiNya Sang Hyang Devi Tapeni/ Bhatari Tapeni (Devanya Serati Banten) untuk memohon bimbigan keselamatan, dalam melaksanakan pembuatan banten untuk upacara Deva Yajna tidak sampai melakukan kesalahan akibat keterbatasan pikiran seperti, kelupaan. Kebingungan dan lain sebagainya. Para Serati Banten biasanya jika akan membuat sarana bebantenan untuk upacara/ upakara maka akan meletakkan daksina disertai perlengkapan banten yang lain diletakkan di mana sudah disiapkan tempat banten/ pelangkiran di mana para Serati Banten akan bekerja untuk membuat banten. Daksina tidak saja diperlukan oleh Serati Banten, tetapi juga bagi tukang-tukang lainnya seperti tukang unagi bangunan, tukang terang, tukang membuat gayah, tukang gamelan, tukang ukir dan lain-lain yang semua tujuannya untuk ngaturang piuning supaya dalam melaksanakan tugasnya mendapat bimbingan dan keselamatan oleh Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa.

Daksina sebagai Upasaksi (Lambang Hyang Guru):

Pengertian upasaksi terdiri dari dua suku kata, yaitu upa dan saksi, upa dapat diartikan sebagai perantara dan saksi dapat berarti mengetahui. Jadi upasaksi dapat mengendung pengertian sebagai sarana untuk diketahui atau mempermaklumkan, dalam hal ini kepada Hyang Widhi dengan manifestasiNya. Tempat untuk menghaturkan banten upasaksi biasanya dibuat khusus yang diberi nama Sanggar Upasaksi, Sanggar Surya atau bisa juga Sanggar Tawang tergantung besar kecilnya upacara yang dilaksanakan. Sanggar Tawang bisa juga disebut Sanggar Agung biasanya dibentuk bangunan temporer dari bambu petung atau batang pinang yang sudah dikupas terlebih dahulu.

Bentuknya dibikin sederhana ruang atas yang dibagi menjadi tiga ruangan, apabila memakai satu ruangan maka disebut Sanggar Surya. Maka sesuai dengan namanya, maka Sanggar Tawang berarti sthana di angkasa, dan fungsinya adalah untuk mensthanakan Hyang Widhi sebagai aspeknya, sebagai Sang Hyang Catur Lokapala atau Hyang Tri Murti. Oleh umat Hindu sangat diyakini bahwa sthanaNya yang abadi berada di luhuring akasa (di atas angkasa).Setiap aktifitas ritual umat Hindu dari pelaksanaan upacara yang sederhana (nista) sampai ketingkatan upacara yang besar (utama) senantiasa dibuatkan Sanggar Surya atau Sanggar Tawang untuk memohon kehadiran Hyang Surya guna menyaksikan ketulusan hati umatnya yang sedang melaksanakan upacara/ Yajna.

Sebagai upasaksi, banten daksina dijadikan sthana Hyang Widhi, apabila banten daksina tersebut diletakkan pada Sanggar Surya atau Sanggar Tawang sebagai upasaksi, maka sudah jelaslah fungsinya. Biasanya banten daksina di Sanggar Surya atau di Sanggar Tawang tidak berdiri sendiri, tetapi melengkapi atau menyertai banten-banten yang lainnya, seperti banten pejati, banten peras, banten Deva-Devi, catur, suci dan banten lainnya.

Daksina sebagai banten pelengkap.

Mengingat daksina sebagai pelengkap banten-banten lainnya seperti banten pejati, banten pebangkit, banten pulegembal, dan masih banyak lagi banten yang lainnya yang tidak penulis sebutkan satu-persatu. Hal ini disebabkan karena upacara/ upakara atau banten yang digunakan dalam suatu upacara merupakan satu kumpulan ari beberapa jenis banten yang disebut soroh dan setiap soroh hampir selalu menggunakan daksina sebagai runtutannya. Adapun kedudukan daksina yang selalu menyertai banten-banten yang yang lain adalah karena memang unsur yang terdapat dalam daksina sangatlah lengkap, selain itu daksina merupakan kekuatan atau saktinya suatu Yajna. Dengan kata lain suatu upakara Yajna akan menjadi sempurna apabila ada daksinenya. Lebih jelas kita lihat pada upacara Deva Yajna, seperti melaspas, mecaru, Ngenteg Linggih, Upacara Pujawali, Panca Walikrama dan Eka Dasa Rudra. Adapun urut-urutan rangkaian upacara yang umum dilaksanakan adalah sebagai berikut:

Upakara Ngatur Piuning memulai karya (Nuasin Karya), upakara Nuur (Mendak) Tirtha, upakara untuk Serati Banten (ngelinggihang Sang Hyang Tapini) yaitu Devanya Serati Banten, Upakara RsiBijana, Upakara Mapapada (pada Sanggar Pesaksi) yang ditujukan kehadapan Siwa Raditya dan Giripati, dan upakara di bale PaVedan. Adapun banten daksina yang digunakan disesuaikan dengan besar kecilnya upakara (nista, madya, utama). Namun umumnya pada upacara Deva Yajna dapat penulis sebutkan di atas masih kebanyakan menggunakan daksina gede atau daksina pemogpog di samping daksina pelinggih dan daksina alit.

Daksina sebagai sarana penebusan :

Daksina juga berfungsi sebagai penebusan atas kekurangan alam upakara yang dilaksanakan, terletak pada sesari/ uang. Selain itu uang sesari yang mengandung juga makna simbol ketulusan hati/ sarining manah. Ada juga yang menyebut daksina pemogpog yang mengandung makna sebagai menutup bilamana dalam melaksanakan upakara yajna ada kekurangan, maknanya hampir sama yaitu untuk penebusan.

Penggunaan Daksina Linggih sebagai pralingga di dalam memuja Hyang Widhi/ Tuhan Yang Maha Esa dilandasi oleh konsepsi Ketuhanan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Kalau pada jaman Empu Kuturan di Bali pemujaan pada Hyang Widhi baru hanya sampai tingkat manifestasi beliau yang disebut Deva atau Bhatara. Maka sejak kedatangan Dangn Hyang Dwijendra ke Bali pemujaan kepada Hyang Widhi bukan saja melalui Deva/ Bhatara yang merupakan prabawa atau sinar suci dari Hyang Widhi dapat diwujudkan dalam imajinasi manusia sehingga diproyeksikan wujud konkrit dalam benda suci yang disebut arca/ pratima sebagai ekspresi imaginasi abstrak manusia tentang wujud beliau. Maka arca/ pratima itu berfungsi sebagai pralingga Deva/ Bhatara.

Daksina Pelinggih adalah sebagai Pralingga Hyang Widhi yang merupakan pengganti dari arca atau pratima. Daksina Pelinggih mempunyai makna religius karena merupakan simbolnya dari Hyang Widhi atau merupakan simbolis miniatur kosmis pralingga Hyang Widhi.. Hal ini dilandasi karena Tuhan bersifat Acintya yang sangat sulit dibayangkan oleh manusia, karena itu Daksina Pelinggih sebagai miniatur kosmis pralingga Tuhan.

Monday, February 23, 2009

UNTOUCHABILITY

A HISTORY of VAIKONAM AGITATION

MANU

"MANU" SUATU PERATURAN YANG TIDAK ADIL BAGI KAUM NON-BRAHMIN

BY: E.V.RAMASAMI

SPEECH DELIVERED by PERIYAR IN THE KANYAKUMARI DISTRICT, ON THE 25th - 26 th DECENBER 1958

Diterjemahkan oleh : Pendeta Alagesan Moses,MA.

Manu

Peraturan yang tidak adil bagi kaum Non-Brahmin

Manu Dharma Sastra adalah suatu alat yang dipakai oleh golongan kasta Brahmana. Ada dua motif yang tertera didalamnya;

1. Sebagai alat yang dapat menjadikan mereka superior di banding dengan golongan yang lainnya. Hal ini membut mereka menikmati nilai hidup yang nyaman tanpa mereka harus bekerja keras. Dan membuat kaum 'sudra' menjadi hamba untuk mereka selamanya. Kelompok orang-orang Non-Brahmana telah dilecehkan dari harga dirinya dan martabatnya (decency.

2. Untuk memprlakukan ketidak adilan terhadap semua kaum yang lain (Non-Brahmin) seperti yang telah tercantum dalam hukum-hukum Manu (Manu Law).

Ketika sesuatu seperti ini telah di tentukan secara permanen, maka segenap organisasi Pemerintahan, peradilan, dan perundang-undangan Negara, dan sebagainya akan secara otomatis di dominasi dan termonopoli oleh kelompok orang Brahmin. Pengaturan sedemikian akan menjadikan semua yang lain (Non-Brahmin) budak untuk selamanya inilah suatu tujuan dari Manu.

Telah ditetapkan agar Manu, peraturan-peraturan atau hukum-hukum ini harus di ikuti untuk masa 3000 tahun.

Raja-raja Sudra dan para pemimpin yang lain berbangga hati dalam memproklamirkan bahwa mereka memerintah bangsanya sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh "Manu". Dengan demikian orang-orang Brahma mencari perlindungan yang di butuhkannya untuk meneruskan kejahatan yang diarahkannya terhadap orang lain karena kelahiran. Setelah kedatangan pemerintahan Inggris yang menunggang balikkan kekuasaan Raja-Raja Tamil, orang Brahmin menginginkan hanya perlakuan kriminal (Criminal Acts) di ubah sesuai dengan perlakukan di Negara Barat. Untuk semua peraturan kehidupan lainnya (Civil Matters) hukum-hukum Hindu yang berbasis pada "Manu" yang berperan dan yang berkuasa.

Dapatkah (adilkah) bila ada suatu peraturan yang seperti :Manu Law" yang menjamin kesejahteraan suatu golongan yang tertentu saja? Bagaimana kita dapat mengijinkan pengadilan mereka atas hukum-hukum Manu (Manu Code).

Adakah di dunia ini atau Negara lain, yang menyapa rakyat biasa dengan julukan "anak-anak jalang"? Adakah perlakuan, penghinaan atau pelecehan yang diarahkan terhadap golongan yang berkarier/ kerja atau pekerja di Negara lain? Adakah anda temukan legeslasi pemerintahan atau pengadilan yang tinggal diam dan menjadi pengamat terhadap ketidak adilan yang diperlukan kepada mayoritas penduduknya? Saya rasa tidak ada perlakuan semacam ini dimanapun juga SAATNYA KOMUNITAS TAMIL BERFIKIRAN CERDAS!!. Kemerdekaan dan hak asasi kita terkandung dalam ter-eradikasinya penghinaan yang di perlakukan terhadap kita karena kelahiran (kita dalam keluarga tertentu).

Dengan rendah hati aku memohon kepadamu putra/I Tamil untuk memikirkan terhadap perlakuan yang biadap ini. Biarlah orang-orang muda Tamil bangkit, karena hari depan ada di tanganmu. Aku menuliskan semuanya ini agar setidaknya orang-orang Muda akan bangkit untuk berfikir dengan cermat dan benar serta bertindak dengan bijaksana.

ASAL USUL HUKUM MANU

Brahma adalah pengarang Manusmerti dia membuat hukum itu dan memberikannya kepada Bihu, seoran sagi (suci) kemudian Bihu memberikan hukum-hukum itu kepada mericha. Kemudian di manusmerti (Orthodox Waruna Sarma) diberitahukan kepada semua orang-orang suci.

Kelakuan atau pekerjaan Brahma;

1. Brahma bertindak sebagai pendeta untuk menyelenggarakan pernikahan dari Dewa dan Dewi Paramasiwa dan Parwati. Ketika Parwathi melingkari Api Suci (Omakundam) dia memegang jumbai atau ujung dari pakaian yang di kenakannya di tangan kirinya. Hal itu membuat Brahma untuk dapat melihat dengan jelas Paha Parwathi pada saat melihat paha Parwathi, Brahma menjadi birahi terhadapnya, sehingga Mani (spermanya) keluar. Ia menempatkan atau menumpahkan spermanya itu di atas sebuah bejana dekat dengan api suci, maka Agusihiar lahir.

2. Ketika Parwathi datang dekat api suci itu, lagi Brahma sekali lagi bangkit birahinya oleh paha Parwathi yang dilihatnya dan spermanyapun keluar. Kali ini ia menumpahkan spermanya diatas dedaunan yang hijau, creeper (tumbuhan yang menjalar) dan pohon-pohon, akibatnya lahirlah para "Rishi" pada saat itu juga satu diantara yang lahir itu adalah Vallkiliyatha.

3. Setelah Brahma meninggalkan tempat itu, setelah pernikahan selesai dia sekali lagi mengeluarkan mani (spermanya) dan menjatuhkannya diatas debu, disuatu makam (kuburan) oleh karena itu lahirlah Rakshasha yang dinamakan juga Purisaravanam.

4. Setelah itu Brahma mengumpulkan tulang-tulang di kuburan dan meneteskan mani diatas tulang-tulang itu, tiba-tiba seorang yang gagah berani yang dipanggil (bernama) "Salliyah" lahir.

5. Saat dia meninggalkan kuburan itu sebahagian maninya jatuh diatas tanah, seekor burung datang hinggap disana dan mengkonsumsi mani itu, burung itu jadi hamil dan melahirkan seorang anak yang bernama 'Sakuni".

6. Brahma kemudian pergi kesebuah tangki, dan melepaskan sedikit maninya di atasnya, seekor katak datang dan memakan mani Brahma itu dan katak itu melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama "Mandothari".

7. Akhirnya Brahma melepaskan tetesan, sisa maninya diatas sekuntum bunga teratai diatas sebuah tangki. Bunga teratai itu menjadi hhamil dan melahirkan seorang anak perempuan yang diberinama "Padma".

8. Melihat putrinya Padma, Brahma menjadi Birahi, dia melihat kecantikan dan kemolekan putrinya. Dia membujuk rayu putrinya Padma untuk bersetubuh dengannya. Bagaimana mungkin, seorang putri mengginginkan ayah kandungnya untuk berlaku sedemikian terhadapnya? Padma menolak rayuan itu! Brahma tidak kehabisan akal, ia mulai memetik ayat-ayat Vedas terhadap anaknya itu, untuk menyadarkan dia bahwa tidak ada salahnya untuk menikmati seks dengan siapapun, kapanpun, dimanapun dengan tujuan untuk melahirkan anak.

"mathara mupathya, susara mupaithe, puthrar theetha sagamarthi, napataloka, nasthee thath, saravam parava vindhu, desmath nuthrar tham, matharam suransatthee rehathee"

Artinya : demi melahirkan anak seseorang dapat menyadarkan berhubungan seks bahkan dengan saudari kandung atau anak kandung, karena ini otoritas yang di beri oleh Veda.

9. Brahma mampu memperdaya putrinya dengan dukungan suara atau pernyataan Veda dan menikmati berhubungan dengannya, sperma (mani) Brahma masuk ke dalam rahim putrinya.

10. Perbuatan Dewa Brahma dan semua tindakannya yang penuh birahi itu di dengar oleh Raja Devas Devendran, ia mengutus Thilothana seorang penari dari Devan untuk menari. Dia menari keempat penjuru bahkan ketidara (langit) dengan ini Brahma mendapatkan lima kepala. Brahma tertarik dengan kecantikan Thilothama, dan ia mengikutinya (Thilothama), karena cintanya. Deva Isuram secara pribadi melihat perbuatan Brahma, dan ia memotong satu dari kepala Brahma.

11. Brahma kemudian mulai mengembara di hutan, dia melihat seekor beruang betina dalam semak-semak itu.Brahma tidak ingin meninggalkannya, dia menghampiri semak-semak itu dan beruang betina itu menyerahkan dirinya pada Brahma. Brahma menikmati hubungan (seks) dengan beruang itu. Dan lahirlah seorang anak dengan berkapala beruang, ia diberi nama jambuvanthan, putra Brahma.

12. Kemudian Brahma bertemu dengan Urvasi seorang wanita sundal, dia terlena dengan kecantikan wanita pelacur itu, ia mengodanya dan membuat janji dengannya dan setelah menikmati wanita itu, dia meninggalkan mani yang keluar dari rahim putrinya 'Padma" dan meninggalkan mani itu kedalam kandungan urvasi. Lahirlah seorang anak yang diberi nama vasisthan. Setelah melakukan semua perbuatan yang tidak terpuji itu kemudian Brahma menurunkan kuasanya kepada Vasistha dan pergi untuk melakukan atau menyiksa diri untuk pertobatan.

ASAL USUL SERTA KELAHIRAN PARA MUNIWAR dan RISHI YANG MENCIPTAKAN VEDA-VEDA dan SASTRA

Kelahiran para Rishi-Rishi ini bertentangan dengan hukum/ kodrat alam, tidak masuk di akal (absurb) dan vulgar (kotor dan tidak suci).

Rishi

Dilahirkan Oleh

1. Kalaikotur Rishi

2. Kausik

3. Jambukar

4. Gouthomar

5. Valmiki

6. Agastiar

7. Vyasar

8. Vashistar

9. Naratdar

10. Kadanasalliyar

11. Madankar

12. Mandaviyar

13. Sankiar

14. Kangaeyar

15. Sounagar

16. Ganathar

17. Sugar

18. Jambuvanthar

19. Aslwathaman

Rusa

Kusam

Serigala

Lembu

Pemburu

Bejana

Nelayan

Urvasi

Wanita Doby, Tukang Cuci

Janda

Wanita Tukang Sepatu (sakkili)

Katak

Wanita Pariah (Kasta ter-rendah di India)

Keledai

Anjing

Burung Hantu

Burung Kakak Tua

Beruang

Kuda

Inilah kebesaran/ kemuliahan daripada Rishi-Rishi dan kelahiran mereka, saya kira orang-orang pada zaman barbarian tergolong lebih inteligen/ pintar, dari masyarakat yang percaya terhadap hal-hal di atas (masyarakat kita).

Sejarah dari para leluhur dan para Rishi-Rishi sangatlah menjijikkan dan sangat bernilai rendah. Merekalah sebab musabab mengapa masyarakat kita berada pada posisi terhina dan rendah. Sekarang kita beralih ke Dewa/I lain.

Kita ketahui tentang Mahavisnu. Parmesvaran keduanya lelaki, mereka jatuh cinta, bersetubuh dan melahirkan seorang anak laki-laki yang saat ini di sembah oleh orang-orang beragama Hindu Orthodox sampai sekarang.

Ada lagi dicacat dengan jelas bahwa Mahavisnu jatuh cinta dengan seorang Rishi Brahmana yang bernama Naradar dan melahirkan bukan seorang tetapi 60 bayi-bayi. 60 kelender (tahun) agama Hindu dari Prabhawa disamakan dengan 60 anak-anak Brahma ini. Episode ini tidak berakhir dengan Mahavisnu, kita di beritahukan tentang kekotoran dan kenajisan istri Mahavisnu yang bernama Mahalaksmi. Mahalaksmi melihat seekor kuda dan jatuh cinta pada kuda itu dengan segera Visnu yang maha tahu (mengetahui) menjadi tahu tentang hal itu, dia segera mengubah istrinya Lakshmi menjadi seekor kuda betina dan dirinya menjadi seekor kuda jantan dan keduannya menikmati hubungan sexual, kedua kuda itu tidak melahirkan seekor anak kuda, tetapi seeorang anak manusia, lalu di beri nama 'Eka Veeran'. Sekarang mari kita lihat apa yang disebut dengan keagungan Devandiren, Raja dari pada Dewa-Dewa, sekali waktu Dewa Devandiren kebetulan melihat seorang wanita yang bernama "Parisadam", dia adalah seorang istri yang baik dari seorang Rishi.

Raja Devandiren ingin berhubungan sexs dengan parisadam dan berkata padanya dia cinta padanya, wanita itu menjawab bahwa dia tidak dapat mencintai Devandiren dan tidak mungkin menghianati suaminya. Indiran menjadi frustasi, dan mencanangkan untuk berhasil dalam atau dengan maksudnya itu. Sekali waktu Rishi sedang mengadakan "Aswamedha Yoga" dimana istrinya Rishi itu "Parisadham" harus memasukan alat kelamin (penis) kuda kedalam vaginanya sendiri, ini adalah sebuah Ritual. Indiren melihat hal ini sebagai suatu kesempatan emas, entah bagaimana dia masuk kedalam kelamin (penis) kuda itu dan melampiaskan keinginan hatinya yang telah lama di idamkannya. Indiran memaksa Parisadam walaupun itu menentang leinginan wanita itu.

Saya "Moses-red" sudah menjelaskan perkara-perkara ini, dengan sedikit mendetail tentang Brahma, Rishi, Deva-Deva dan Raja-Raja mereka, agar anda sanggup atau dapat mempelajari sesuatu tentang mereka seperti apa yang telah di tuliskan dalam "Manu Code".

Hari ini di India, Pengadilan tinggi mengurus sesuatu penghakiman berrdasarkan hukum-hukum Hindu. Keadilan terhadap semua perundang-undangan terambil dari Manu Code, dari apa yang Rishi dan Deva-Deva telah gariskan beberapa saat yang silam, hal lain kutiliskan untukmu agar engkau boleh mempertimbangkannya. Bagi seorang Hindu dimana atau ketika suatu problema harus di selesaiakan 'The Dharma Sastra" menjadi tolak ukur diatas semuanya "Manu Code" menempati posisi yang teratas atau yang tertinggi. Bukan hanya itu, tetap konstitusi Negara India, juga dibagian Tamilnadu dicanangkan sesuai dengan Manu Code ini, mari kita lihat selanjutnya apa yang terkandung dalam Manu Code ini serta menilai keadilan dan kebenaran yang terkandung didalamnya.

ASAL-USUL MANU CODE

Brahma adalah pencipta Manu Darma Sastra, hal tersebut dinyatakan olehnya kepada para Rishi (pasal 1 sloka 59).

Vedas dan Dharma Sastra tidak boleh di pertanyakan atau di perdebatkan, dia yang melakukan hal tersebut dianggap seorang Atheist (yang tidak bertuhan)

(pasal 2 sloka 11).

Orang yang seperti itu yang menghina Veda dianggap menghina Tuhan

(pasal 2 Sloka21).

Orang Brahmin tidak boleh mengatakan manu Dharma Sastra ini kepada orang lain

(pasal 1 sloka 103).

Tugas seorang Raja adalah untuk memecat penjudi, aktor atau pelaku atau pemusik, elemen-elemen yang buruk, mereka yang menyangkal Veda dan Smritis, mereka yang tidak maau mengikuti ritual-ritual dan praktis-praktis ini mereka yang mengubah profesinya dan mereka yang di dapati minum-minuman keras atau yang memabukan.

(Pasal, 9 Sloka 226)

PEMISAHAN OLEH KELAHIRAN

Untuk menyelamatkan dunia, Brahma menciptakan suku Brahma, Khatriyas Vaisyas dan Sudras dari wajah, bahu, paha, dan kakinya, sesuai dengan susunan atau tatanan urutannya dan mengembangkan pekerjaan-pekerjaan yang berbeda serta tanggung jawab setiap seksi atau bahagiannya secara terpisah.

(Pasal 1 Sloka 87)

Karena seorang Brahmin dilahirkan dari wajah Brahma, karena dia dilahirkan dari kasta yang tertinggi, dia sajalah yang memiliki hak-hak untuk menerima dam menikmati kekayaan dan harta-harta dari semua kasta-kasta lain serta segenap orang atau penduduk.

(Pasal 1 Sloka 100).

BANGGA DALAM MEMINTA-MINTA ATAU MENGEMIS

Walaupun seorang Brahmin meminta-minta dan menerima pertolongan, dia makan hasilnya sendiri, berpakaian pakaianya sendiri. Dia menyumbangkan hartanya sendiri, yang lain boleh menikmati hal-hal seperti itu hanya atas ijin Brahmin.

(Pasal 1 Sloka 101).

Walaupun seorang sudra melakukan pekerjaan seorang Brahmin, dia tidak menjadi seorang Brahmin, karena dia tidak punya hak untuk mengeerjakan pekerjaan-pekerjaan seperti itu. Walaupun seorang Brahmin mengerjakan pekerjaan-pekerjaan seorang sudra dia tidak akan menjadi seorang sudra. Karena walaupun dia mengerjakan pekerjaan yang rendah dia berasal dari kasta yang tinggi.

(Pasal 10 Sloka 73).

BRAHMIN NON VEGETARIAN

Semua jenis makanan seperti vodai, payasam, dan daging yang lezat, manisan atau minuman yang manis adalah untuk orang-orang Brahmin.

(Pasal 5 Sloka 227).

Seorang Brahmin boleh makan apa saja yang setiap hari demi kesehatanya. Tidak ada dosanya bagi orang Brahmin untuk makan-makanan dari hewan sekalipun (living belings).

(Pasal 5 Sloka 30).

PERATURAN DARI MANU SASTRA

Untuk menyenangkan orang mati serta nenek moyang dengan mempersembahkan daging-daging dan berjenis-jenis burung dan hewan, sangat juga disenangi oleh Brahma untuk menyenangkannya disaat-saat yang berbeda, berikut detail persembahannya. persembahannya berupa;

1. Padi, beras, air, biji-bijin, akar dan buah, akan menyenangkan seseorang yang sudah selama satu Bulan.

2. Ikan-Ikan akan menyenangkan orang yang sudah mati selama dua Bulan.

3. Daging (Hewan Jantan) akan menyenangkan orang yang sudah mati selama tiga Bulan.

4. Daging kambing akan menyenangkan orang yang sudah mati selama empat Bulan.

5. Daging burung-burungan akan menyenangkan orang yang sudah mati selama lima Bulan.

6. Daging kambing putih akan menyenangkan orang yang sudah mati selama enam Bulan.

7. Daging rusa betina akan menyenangkan orang yang sudah mati selama tujuh Bulan.

8. Daging (Kuda Hitam) akan menyenangkan orang yang sudah mati selama 8 Bulan.

9. Kelamin rusa jantan akan menyenangkan orang yang sudah mati selama sembilan Bulan.

10. Daging landak,babi, kerbau tambun akan menyenangkan orang yang sudah mati selama sepuluh bulan.

11. Daging kelinci, kura-kura akan menyenangkan orang yang sudah mati selama sebelas bulan.

12. Susu lembu atau sapi, curd (Susu Asam) akan menyenangkan orang yang sudah mati selama satu tahun.

13. Daging (Moged) akan menyenangkan orang yang sudah mati selama dua belas bulan.

14. Sayur-sayuran musiman, berjenis-jenis ikan (Valai) yang dijala,daging kambing, biri-biri yang berwarna atau segar, beras yang di panen dari hutan, akan menyenangkan orang yang sudah mati selam-lamanya.

Di bulan "Purattasi" setelah bulan purnama pada hari yang ke tiga belas, bila persembahan seperti berikut madu, payasem, dipersembahkan kepada orang-orang yang sudah mati. Hal itu akan memberikan kepada mereka kelegaan sejati.

(Pasal 3 Sloka 267-273).

Bila orang Brahmin menolak untuk memakan daging persembahan pada suatu upacara, dia akan lahir sebagai seekor sapi selama 21X

(Pasal 5 Sloka 267-273).

Seorang sudra harus berada diluar rumah pada hari Ritual keagamaan.

(Pasal 3 Sloka 242)

PEMBERIAN NAMA

Nama yang baik dan penuh rahmat hanya dapat diberikan pada seorang Brahmin saja. Orang-orang kesatria boleh menggunakan nama-nama yang berkonotasi keberanian dan kekuatan. Orang-orang Vaisya harus berbau benda-benda (articles) orang-orang sudra, saja harus di beri nama-nama yang hina dan yang merendahkan. Kemudian kata "Dasan" harus menjadi (Suffx) nama akhir dari nama orang sudra.

(Pasal 2 Sloka 31-32).

"Poonul" seorang Brahmin (benang yang di balutkan pada bahu orang brahmin harus terbuat dari katun atau kapas). Poonul seorang kesatriaan harus terbuat dari janappa Thread, benang janappa. Poonul seorang vaisya harus terbuat dari bulu kambing.

(Pasal 2 Sloka 44).

BABI DAN ORANG SUDRA

Semua jenis benda menjadi terpolusi dan tidak layak untuk dipakai atau digunakan atau juga di makan bila:

1. Seekor babi menyentuhnya

2. Ayam jantan atau betina terbang diatasnya

3. Seekor anjing melihatnya

4. Seorang Sudra menjamahnya.

(Pasal 3 Sloka 249).

Seseorang yang mempersembahkannya kepada seorang sudra setelah suatu puja atau upacara akan masuk neraka. Orang bodoh seperti itu akan di hukum disana, dia akan tinggal disitu dengan kepala terbalik dan kaki di atas.

(Pasal 3 Sloka 249)

Bila seorang Brahmin secara kebetulan memakan sesuatu yang terlebih dahulu dimakan atau dirasai oleh seorang sudra, orang Brahmin itu harus mengadakan hubungan sexual pada malam itu dengan istri si sudra itu.

Ada 7 jenis atau golongan orang Sudra;

1. Seseorang yang mengundurkan diri (berhenti) dalam peperangan.

2. Seseorang tahanan dalam peperangan

3. Seseorang yang melayani seorang Brahmin karena baktinya.

4. Anak seorang pelacur

5. Budak seseorang yang dibeli.

6. Seseorang yang diangkat atau dipelihara

7. Seorang pekerja Tradisional atau buruh.

(Pasal 8 sloka 415).

TUGAS-TUGAS ORANG SUDRA

Seorang Sudra menyembah seorang Brahmin apakah itu untuk keselamatan atau untuk kehidupan (pekerjaannya) adalah baik bagi si sudra itu untuk menyatukan atau meneguhkan bahwa semua orang-orang lain memang sebenarnya lebih rendah dari seorang Brahmin.

(Pasal 10 Sloka 122)

Bila seorang kesatria gagal melakukan sesuatu ritual, atau bila mereka mengabaikan untuk menyembah seorang Brahmin, mereka telah tergolong seorang-orang sudra.

(Pasal 10 Sloka 43).

Dalam suatu pertemuan umum orang Brahmin harus makan lebih dahulu, bila ada sisa makanan orang lain boleh dimakan. Pakaian baru harus dikenakan oleh orang Brahmin terlebih dahulu, bila pakaian itu usang dan tua itu boleh di pakai oleh orang lain, seseorang Sudra hanya layak menerima yang seperti itu.

(Pasal 8 Sloka 125).

Adalah tugas sang Raja untuk memerintahkan orang Sudra agar melayani orang Brahmin. Bila si Sudra menolak maka dia harus dipaksa dan dihukum.

(Pasal 10 Sloka 35).

Seorang Brahmin boleh memperkerjakan seorang Sudra baik di gaji atau tidak, Brahma telah menciptakan si Sudra hanya untuk bekerja bagi orang Brahmin.

(Pasal 8 Sloka 413).

Adalah tugas yang hakiki bagi orang Sudra untuk melayani komunitas yang lain tanpa kecemburuan. Untuk hal ini dia boleh mendapat gaji.

(Pasal 2 Sloka 91).

EXPLOITASI

Harta dari orang Sudra yang tidak menjalankan 'yajna' akan di jarah untuk menjadi harta Asura. Jadi seorang Sudra boleh di Jarah.

(Pasal 7 Sloka)

Harta seorang Sudra boleh di jarah, tidak perlu ada pertimbangan atau mencari persetujuan, tidak perlu segan-segan untuk melakukannya.

(Pasal 119 Sloka).

Bila seorang Sudra boleh boleh bekerja dan mendapatkan gaji, dia tidak boleh mendapatkan uang atau gaji yang melebihi kebutuhan keluargannya. Seorang Sudra melakukan hal itu (mendapat melebihi kebutuhannya) maka dia akan berontak terhadap orang Brahmin dan menganiayanya.

(Pasal 10 Sloka 12).

HUKUMAN BAGI ORANG SUDRA

Bila orang Sudra menjelekkan orang Brahmin maka lidahnya harus dipotong.

(Pasal 8 Sloka 27)

Bila seorang Sudra menyebutkan nama orang Brahmin atau berbicara tentang kastanya atau menuduh orang Brahmin, maka sebatang besi sepanjang 10 inci di bokor sampai merah matang akan dimasukan ke mulut si Sudra itu.

(Pasal 8 Sloka 27).

Bila seorang Sudra mendikte/menyuruh seorang Brahmin untuk melakukan sesuatu hal, minyak yang mendidih akan dituangkan ke dalam mulut di telinganya.

(Pasal 8 Sloka 27).

Bila seorang Sudra memukul rambut seorang Brahmin, atapun janggut, kaki, leher, atau alat kelaminya, maka tangan orang Sudra harus di penggal.

(Pasal 8 sloka 28).

Bila seorang Sudra duduk bersama dengan seorang Brahmin, punggungnya si Sudra harus di bakar dan dia harus di usir dari tempat tingginya atau kota itu.

(Pasal 8 Sloka 281).

Bila seorang Sudra menentang seorang Brahmin dengan tangan atau sebatang kayu, perhatikan bekas pukulan itu, dan pembalasan harus dilakukan dengannya di tempat atau pada bahagian yang sama pada tubuhnya si Sudra. Tangannya harus di penggal bila dia menggunakan tangannya atau kakinya di penggal bila-bila dia menggunakan kakinya.

(Pasal 9 Sloka224-248).

Bila seorang Sudra mengambil sesuatu-barang milik seorang Brahmin dia harus di dera dan dibunuh.

(Pasal 9 Sloka 248)

Bila seorang Sudra meninggalkan karirnya dan menginginkan (ingin ganti karir) Raja harus menyita semua harta bendanya dan mengeluarkan atau mengusir dia dari masyarakatnya itu.

(Pasal 10 Sloka 96).

Bila seorang Non-Brahmin menikmati istri seorang Brahmin dia harus dihukum sampai nafasnya yang terakhir.

(Pasal 8 Sloka 359).

Bila seorang Sudra menikmati gadis seorang Brahmin tanpa perlindungan (memberi wanita itu perlindungan) alat kelamin si Sudra itu harus di amputasi, bila dia menikmati gadis Brahmin itu dalam sebuah keluarga tubuhnya harus dipenggal berpotong-potong dan seluruh harta bendanya harus disita.

(Pasal 8 Sloka 374).

Untuk menyatakan suatu kebenaran atau untuk membuat suatu perjanjian, seorang sudra harus menyatakannya dengan memagang besi yang telah dipanaskan atau di tenggelamkan (benamkan) kedalam air.

(Pasal 8 Sloka 114).

Bila setelah mendapatkan hukuman tadi dan tangan si sudra tidak mengalami luka bakar atau dia tidak mati, saat dibenamkan, itulah buktinya perkataanya itu benar dan dapat di terima.

(Pasal 8 Sloka 115).

Disuatu tempat atau kota ataupun negara dimana, seorang sudra tidak, mempunyai pekerjaan yang lain, selain menjadi budak, distulah tempat yang tepat dan layak bagi seorang Brahmin harus atau dapat hidup

(Pasal 2 Sloka 24).

Seorang Brahmin tidak boleh tinggal atau hidup dimana seorangg sudra memerintah, seorang Brahmin tidak boleh tinggal dekat dengan kediaman seorang Chandala.

(Pasal 4 Sloka 6).

TIDAK ADA HAK BAGI SEORANG SUDRA

Seorang Sudra tidak boleh diajarkan sastra-sastra. Seorang Brahmin tidak boleh memberikan makanan kepada siapapun kecuali kepada pengikutnya atau muridnya. Persembahan "Homa" tidakk boleh diberikan kepada seseorang sudra. Seorang Brahmin tidak boleh pergi untuk mendoakan :Pooja" atau melakukan sesuatu upacara agama terhadap seseorang yang memboikot si Brahmin tersebut.

(Pasal 4 Sloka 80).

Mayat seorang sudra harus diangkat kearah selatan, mayat seorang kesatria diangkat kearah Utara, mayat seorang vaisya diangkat kearah Barat, dan mayat seorang Brahmin diangkat kearah Timur.

(Pasal 5 Sloka 92)

PERATURAN ORANG-ORANG BRAHMIN

Seorang Raja layak mendapat kunjungan semua orang Brahmin dan Pendeta yang membacakan Vedas dan Sastra, Raja harus ikut semua tuntutan mereka dan memerintah seperti yang dicanangkan si Brahmin.

(Pasal 7 Sloka 37).

Suatu negara yang dipimpin seorang Raja akan dimusnakan bila cendikiawan-cendikiawan vedenta dan orang-orang Brahmin harus merana untuk makanan.

(Pasal 7 Sloka 134).

Bila seorang Raja tidak memimpin negerinya seperti yang dijabarkan dalam "Manu" Dharmasastra, Carnasrama Dharma. Para mentri dan semua khalayak ramai harus membunuh raja tersebut.

(Pasal 7 Sloka 26).

Seorang sudra harus ditekan oleh orang-orang Brahmin tanpa memperpedulikan kuasa seorang Raja. Bila Varuna Dharma tidak di indahkan oleh Raja itu, orang Brahmin harus memerangi dia (Raja) itu dengan senjata dan bedil.

(Pasal 8 Sloka 348).

Negara dimana seorang sudra berkuasa atau mengerjakan kebenaran dan keadilan harus mengalami penderitaan seperti seekor lembu yang jatuh kedalam kolam atau rawa-rawa.

(Pasal 8 Sloka 21).

PEMBAHAGIAN HARTA

Bila seorang Raja menemukan sesuatu harta dinegerinya, maka dia harus memberikan ½ (setengah) dari harta itu kepada orang Brahmin, dan ½ (setengahnya) lagi boleh dia ambil untuk perbendaharannya.

(Pasal 8 Sloka 38).

HUKUM GANTUNG

Hukuman gantung tidak boleh dikenakan kepada orang Brahmin, sebaliknya dia digantung, cukup bila rambutnya digundul dan yang lain boleh digantung.

(Pasal 8 Sloka 379).

Bahkan seorang Brahmin yang melakukan kesalahan yang fatal, dia tidak boleh disiksa atau dinista ataupun digantung, dia harus dibebaskan bersama dengan semua miliknya.

(Pasal 8 Sloka 380).

WANITA

Tempat tidur, kecantikan, kehamilan, kemarahan, penipuan, penyangkalan, (Penghianatan) itu semua diciptakan semata-mata untuk wanita.

(Pasal 9 Sloka 17)

Bila dalam sebuah keluarga mereka tidak memiliki keturunan (anak) wanita/ istri boleh minta persetujuan dari mertua lelaki juga suaminya, dan mengadakann hubungan sex dengan saudara iparnya, juga dengan keluarga terdekat dari suaminya untuk mendapatkan anak-anak atau keturunan.

(Pasal 9 Sloka 59).

Walaupun seorang suami itu didapati atau memiliki karekter yang buruk, sifat yang jelek, bahkan memiliki hubungan yang lain di luar nikah, seorang wanita harus menyembah suaminya sebagai seorang Dewa.

(Pasal 5 Sloka 154).

Seorang wanita harus patuh pada ayahnya pada waktu kecil, patuh pada suami setelah menikah, patuh pada anak-anak setelah dia jadi janda. Seorang wanita tidak boleh memiliki kebebasanya pribadi.

(Pasal 5 Sloka 148).

Tidaklah berdosa untuk membunuh seorang wanita atau seorang yang bukan Brahmin.

(Pasal 11 Sloka 565).

Api membakar mayat dikuburan. Api "Homa" itu baik, demikian juga bila seorang Brahmin melakukan sesuatu tindakan yang buruk, dia tetap harus dipuja karena dia superior, yang tertinggi dari yang lain.

9Pasal 9 Sloka 318, 319).

===Rangkuman Buku oleh D. Sures Kumar - Satria Hindu /PP KMHDI==

Cyberdharma Indonesia's Notes:

Beredar kabar Buku terjemahan Pendeta Mose di bagikan secara cuma-cuma pada umat Hindu Sumatera Utara, Tujuannya kemungkinan missionaris. Hal demikian sudah seringkali terjadi, mungkin ada baiknya Umat Hindu tetap tidak terpancing dengan cara-cara kotor tersebut, sehingga tidak perlu melakukan anarkis seperti tanyangan televisi saat ada pelecehan agama. Ada baiknya Umat Hindu justru merenung, terlebih Nyepi sudah begitu dekat dan berdoa semoga sang pendeta mendapat penceraha.

Thursday, February 12, 2009

Renovasi Pura Pengastulan Sawangan


Pelaksanaan perenovasian Pura Pengastulan hampir mencapai titik kesepakatan antara prajuru dan yang ditokohkan dalam masyarakat Sawangan.

Perenovasian ini mendapat anggaran dari konfensasi pengerukan pasir di perairan selatan Bali, tepatnya sebelah selatan Lingkungan Sawangan dan Kutuh.
Adapun Dana yang telah diterima sebesar 650 juta tunai. Tetapi yang 75 juta telah direalisasikan kepada pengemong pura yang berada di pesisir pantai yang kena imbas pengerukan pasir dimaksud.