Friday, July 31, 2009

Keasrian Pantai Geger Terusik



Pengerukan pasir di pantai Geger untuk mempercantik kawasan Kuta dan Nusa Dua berbuah kontroversi. Tetapi, pemerintah menggunakan pantai Geger sebagai panggung untuk saling berbalas pantun antar instansi.
Pantai memang banyak megundang inspirasi. Mulai dari pejabat yang melihat sebagai suatu lahan garapan untuk ‘dijual’ (demi apapun itu), pengusaha untuk melipatgandakan modal, kaum agamawan untuk memberi bentuk ajaran-ajaran tertentu, hingga para seniman yang menggunakan pantai sebagai tempat pelarian dari kehidupan yang keras. Namun inspirasi nyata dari pantai adalah memberi kehidupan secara langsung pada manusia atau kepada orang yang sehari-hari memang tinggal di seputar pantai, yaitu nelayan.Nelayanlah yang menerima akibat langsung dari kerusakan sebuah pantai, misalnya. Kurang lebih drama kehidupan semacam inilah yang kini sedang terjadi, saat pengerukan pasir di pantai Geger, tempat para nelayan menggantungkan hidupnya dari generasi ke generasi. Kemesraan antara nelayan dan laut tiba-tiba saja raib....Seperti diungkapkan Made Pegig (49), ketua kelompok nelayan di Sawangan. Menurutnya, dulu sebelum terjadi penyedotan pasir, karang-karang di pinggir pantai tidak terlihat karena tertutup pasir yang tebal. Namun sejak ada pengambilan pasir di laut dalam kawasan Geger, mulai tampak penurunan pasir di pesisir pantai Sawangan dan Peminge. ‘’Penurunannya mencapai sekitar 50 cm, hingga karang-karang menyembul,’’ ujarnya. Menurutnya situasi itu cukup merepotkan nelayan saat akan melaut. Karena perahu atau jukung mereka sangat rentan, rusak terkena karang.
Sebagaimana para nelayan yang lain, Pegig tidak bermaksud untuk menjadi pahlawan kesiangan. ‘’Kami sebenarnya tidak bermaksud menghalangi program pemerintah. Namun tolong, sosialisasikan dengan baik kepada masyarakat dan jangan sampai proyek yang dikerjakan menimbulkan dampak yang negatif’’, sebutnya mengingatkan.
Para penjabat instansi pemerintah memang tidak menjalankan aksi — pinjam istilah Iwan Fals — pura buta pura tuli. Terbukti persoalan ini sudah sampai di meja kelurahan hingga meja anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah Kabupaten Badung. Sungguh, betapa seriusnya persoalan ini. Tetapi seserius itukah solusi-solusi yang ditawarkan?
Ketua Forum Komunikasi Kades dan Perbekel Kabupaten Badung I Nyoman Mesir yang sempat menghadap Bupati dan Ketua DPRD Badung terkait soal pengambilan pasir, juga mengisyaratkan hal serupa. Meskipun tidak mau berbicara banyak, lelaki yang juga masih menjabat sebagai Kepala Desa Kutuh, Kuta Selatan itu menyebutkan perlunya ada koordinasi dan Memorandum of Understanding (MoU) mengenai penanganan selanjutnya dari proyek pantai tersebut.Mesir memang tidak merinci ‘konsep’nya lebih jauh, mungkin hal itu — berdasarkan hirarki birokratis — bukan wewenangnya. Tapi, anggota DPRD Badung asal Kuta Selatan, Wayan Disel Astawa mengarisbawahi apa yang disebut Mesir dengan istilah ‘koordinasi’. Dia meminta pengambilan pasir itu bisa benar-benar diawasi oleh Pemkab Badung dan Propinsi Bali sehingga tidak terjadi pengambilan besar-besaran yang berdampak luas bagi keseimbangan ekologi di sekitar pantai.‘’Perjanjiannya harus jelas, harus ada kesepakatan antara pelaksana proyek dengan masyarakat. Dan jangan sampai terjadi penjualan pasir ke luar negeri. Kalau hanya pengambilan terbatas untuk kepentingan di Badung saja, saya kira tidak masalah,’’ paparnya enteng seperti mengoper bola.Ketua DPRD Badung I Gede Adnyana menyatakan hal serupa. Menurutnya, berdasarkan pembicaraan dengan Mesir, pihaknya menekankan adanya koordinasi untuk menanggulangi kerusakan pantai yang mungkin terjadi, seperti abrasi. ‘’Jadi, perlu ada sosialisasi dan MoU antara masyarakat setempat dengan pelaksana proyek yang dilegalisir Pemkab Badung dengan DPRD Badung,’’ ujarnya.Namun akhir persoalan ini menunjukkan titik temu. Meskipun pada awalnya, banyak warga di sekitar pantai tersebut mengeluhkan akibat yang mungkin ditimbulkan dari aktivitas pengerukkan pasir, toh akhirnya mereka menyerah.Kepala Lingkungan Sawangan, Nyoman Reta tidak menampik soal awal proyek pengambilan pasir itu ditolak warga. Namun karena pengambilan pasir terus berlangsung dan merupakan proyek yang tidak bisa dihentikan, pihaknya mengambil jalan tengah. Dalam sosialisasi lanjutan dan pertemuan yang difasilitasi Pemkab Badung, Dinas Cipta Karya dan pihak terkait lainnya, akhirnya disepakati beberapa hal untuk mengurangi dampak terhadap masyarakat. Kesepakatan itu berupa semacam kompensasi sebagai wujud komitmen pelaksana proyek untuk tetap menjaga lingkungan yang masih ada di sekitar pantai.Socialization Expert dari pihak konsultan Bali Beach Conservation Project Nippon Koei Co., LTD & Associates dan PT.Tata Guna Patria, I Nengah Rasna, S.T menyebutkan, pihaknya memang telah melakukan pengukuran untuk penataan di Banjar Sawangan seperti Pura Pengastulan, Pura Banjar, Bale Kulkul, Balai Nelayan, Pura Telaga Waja, serta penataan parkir di kawasan Pura Geger dan penyengker Banjar Peminge. Setelah diukur, akan dihitung biaya pelaksanaannya dan keputusan untuk mewujudkannya ada pada Dinas PU dalam hal ini melalui Balai Wilayah Sungai Bali-Penida. Dia juga menjelaskan, proyek penataan Pantai Kuta akan berakhir Desember tahun ini. Sebelumnya telah dilakukan beberapa langkah seperti survai pada Agustus lalu dan pengambilan pasir hingga Oktober.Posisi pengambilan terletak 5 mil di tengah pantai. Pasir diambil dari palung yang terdapat pada pantai itu. Untuk mengambilnya dipergunakan peralatan dari satu kapal pengambil pasir yang disewa dari Eropa, tepatnya Belanda. Volume pasir yang diambil adalah sekitar 650.000 m3. Saat ini sejumlah 150.000 m3 pasir telah distok di kawasan Pantai Mertasari, Sanur Kauh. Sedangkan untuk pengisian di Pantai Kuta diperlukan pasir sebanyak 500.000 m3.Dia menjamin, pasir itu hanya dipergunakan khusus di wilayah Badung, tidak dibawa keluar daerah. Soal ketakutan warga bahwa akan terjadi abrasi akibat pengambilan pasir itu, menurut Rasna itu adalah fenomena alam. ‘’Abrasi terjadi bukan karena pengambilan pasir, melainkan gejala alam akibat perubahan angin, gelombang dan juga pengaruh global warming. Jadi, meskipun tidak ada pengambilan pasir, abrasi tidak mungkin terhindari,’’ ucapnya.
Proyek penyedotan pasir di pantai Geger-Sawangan merupakan kelanjutan penataan pantai di kawasan Bali Selatan yang telah dimulai 2003 lalu. Pengambilan pasir di kawasan Geger adalah proyek untuk mempercantik Pantai Kuta. Pasir Geger akan dipindahkan dan diisikan ke kawasan pantai yang banyak mengisi pundi-pundi pendapatan Badung dari bidang pariwisata tersebut.Lepas dari saling tunjuk antara masyarakat dan negara, pantai Geger secara fisik sudah menunjukkan tanda-tanda bopeng demi untuk mempercantik ‘saudara’nya, yaitu kawasan pantai Kuta dan Nusa Dua. Kalaupun toh pantai Geger bisa bersedu-sedan, tentu ia akan bernyanyi lagunya Seventeen, “Mengapa selalu aku yang mengalah......”
Kronologis Pengambilan Pasir di Pantai GegerBerdasarkan data dari Balai Wilayah Sungai Bali-Penida, pengambilan pasir di kawasan Pantai Geger berawal dari rusaknya kondisi pantai berpasir putih di Bali Selatan yaitu Pantai Sanur, Nusa Dua dan Kuta. Terjadi erosi dan abrasi yang cukup parah di kawasan pantai ini yang memerlukan penanganan segera. Sampai akhir 1960-an, masih terdapat pantai-pantai berpasir putih yang indah di Bali Selatan. Namun seiring pembangunan industri pariwisata yang pesat dan juga karena faktor alam, terjadilah erosi dan abrasi di kawasan pantai tersebut. Untuk merehabilitasi pantai-pantai yang rusak di Sanur, Nusa Dua dan Kuta itu, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum (PU) melalui Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu Pengamanan Daerah Pantai Bali Selatan melakukan proyek pengamanan Pantai Bali dengan dana pinjaman dari Japan Bank For International Cooperation (JBIC), Loan IP-475. Proyek ini terdiri dari empat paket yaitu Paket I: Pantai Sanur, Paket II: Pantai Nusa Dua, Paket III: Pura Tanah Lot dan Paket IV: Pantai Kuta.
Proyek pengamanan Pantai Bali berjalan melalui proses yang cukup panjang. Berawal mulai tahun 1970-an yang dimulai dengan identifikasi masalah erosi di Pulau Bali. Lalu pada tahun 1987-1988 diadakan studi kelayakan mengenai proyek tersebut. Selanjutnya pada 1991-1993 dibuatlah desain detail. Kemudian pada 4 Desember 1996 dilakukan penandatanganan persetujuan pinjaman JBIC Loan IP-475. Pada tahun 1997-1998 dilaksanakan kaji ulang desain detail (lebih lengkap, lihat: Tabel Kronologis Pengerukan Pasir di Pantai Geger). Untuk merehabilitasi pantai berpasir, perlu dilakukan pengisian pasir. Namun jika hanya dilakukan pengisian pasir, pasir tersebut akan hanyut keluar terbawa arus laut. Setelah melalui sosialisasi dan konsultasi publik berkali-kali, akhirnya masyarakat Kuta menyetujui pembuatan tiga bangunan pemecah gelombang bawah laut sebagai upaya meminimalisasi kehilangan pasir. Pekerjaan pengamanan pantai Kuta mencakup pengisian pasir awal, dan pembuatan tiga pemecah gelombang, renovasi tembok pantai (revetment), penataan lansekap dan pembuatan walkway serta fasilitas publik lainnya. Selain itu karena pasir pantai rentan terhadap terpaan gelombang, untuk mempertahankannya dalam jangka waktu lama, perlu ada pengisian pasir kembali beberapa tahun setelah pengisian pasir awal selesai. Untuk memenuhi kebutuhan itu, disediakan cadangan pasir yang diletakkan di Pantai Mertasari. (LS)
Tabel Kronologis Pengerukan Pasir di Pantai Geger
Tahun 1970-an
Identifikasi masalah erosi di Pulau Bali
1987-1988
Studi kelayakan mengenai proyek
1998-2003
Sosialisasi dan konsultasi publik tentang paket IV: Pantai Kuta
1999-2003
Pelaksanaan pekerjaan paket III: Tanah Lot
2001-2005
Pelaksanaan pekerjaan paket I: Sanur & Paket II: Nusa Dua, Tj Benoa
21 Juni 2006
Dimulainya pelaksanaan paket IV: Kuta
Petak Umpet di Pantai Selatan
Pro-kontra pengambilan pasir di kawasan pantai Geger-Sawangan terus bergulir. Tak lama proyek ini harus dirampungkan. Bagaimana dampak ditimbulkan proyek ini, bagaimana pula solusinya?Mengecewakan tentu, karena sikap para eksekutif dan legislatif di Badung menafikan persoalan di Geger. Kepala Balai Wilayah Sungai Bali-Penida, Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Ir. I Nyoman Ray Yusha, M.M menyebut proyek tersebut telah melalui kajian matang, sesuai prosedur, dan telah dilengkapi analisis dampak lingkungan (Amdal). Menurutnya, hal ini sudah dilakukan pihak berkompeten. Dia menampik tudingan, pejabat tidak punya keberpihakan kepada permasalahan lingkungan.
Semata melihat sisi untungny saja. ”Sebagai pihak pelaksana kami punya kesadaran ekologi, tidak terbersit sedikit pun hendak merusak lingkungan di Bali, khususnya di Badung,’’ tegasnya.
Lelaki asal Desa Tajun, Buleleng itu berharap masyarakat tidak cemas berlebihan, karena pasir itu tidak dikeruk seperti disangka selama ini. Menurutnya, pasir yang diambil sekitar 5 mil ke tengah laut dalam di Sawangan, itu kira-kira hanya setebal 20-40 cm. Pengambilannya dilakukan merata di hamparan pantai sepanjang Geger-Sawangan dan tidak ada lubang besar yang ditimbulkan dari pengerukan tersebut. Lagipula jumlah pengambilan pasir itu masih proporsional. Sesuai volume pasir yang sangat banyak di kawasan pantai tersebut, jumlah 650.000 m3. Menurut Ray Yusha, itu tidak terlalu banyak. ”Pasir itu juga tidak dibawa keluar Badung, hanya dipergunakan di pantai Kuta. Alasanya, karena jenis pasir sama dengan yang ada di pantai Kuta,’’ ujarnya.Pemerhati kelautan, Ir.I Gusti Agung Putu Eryani, M.T berpendapat serupa. Perempuan yang juga dosen Teknik di Universitas Warmadewa ini mengaku setuju saja dengan pengambilan pasir, asalkan tetap dipergunakan di dalam wilayah Bali, tidak dibawa keluar. Ditegaskan, pengambilan pasir itu bisa saja dilakukan asal untuk kepentingan lingkungan dan melestarikan pantai, bukan untuk dijual. Yang penting, pelaksana proyek mesti tetap berpedoman pada Amdal. Perempuan lulusan S2 Teknik Pantai Universitas Gajah Mada Yogyakarta 1995 ini menjelaskan, keberadaan pasir merupakan proses alami pantai dan akan terus berlangsung, meskipun dalam jangka waktu cukup lama.
Ditegaskan, adanya pasir putih yang banyak terdapat pada sebuah pantai mengindikasikan bahwa, karang dan biota yang ada di sekitarnya hidup dan bertumbuh dengan baik. Namun pasir yang bertumpuk dan menutupi karang juga tidak baik bagi pertumbuhan terumbu karang. Sebenarnya, lanjut Eryani, “Tidak perlu ada cemas. Pasir yang diambil itu tidak terlalu berpengaruh terhadap kelestarian biota laut di sekitarnya. Asal mengikuti kajian Amdal dan penanganan lanjutan di sekitar wilayah setempat, saya kira tidak ada persoalan serius,’’ paparnya.
Namun demikian, perempuan murah senyum itu menekankan perlunya pengawasan terhadap proyek pengambilan pasir tersebut, termasuk posisi kapal. Pengawasan itu bisa dilakukan juga pihak desa adat setempat. Tujuannya untuk memastikan pasir itu telah diambil sesuai ketentuan. Karena apabila diambil berlebihan, pastinya berpengaruh terhadap keberadaan biota dan ekologi laut disana.Di kalangan DPRD Badung, perdebatan pengambilan pasir pantai Geger selesai, sudah. Saat ini penolakan justru datang dari pihak DPRD Bali. Dalam pertemuan antara Komisi I DPRD Bali dihadiri ketua I Made Arjaya dengan Kepala Dinas PU Bali I Nyoman Sudiana, dan utusan dari Bapedalda, diwakili I Gede Wardana, mencuat juga persoalan Amdal. Akhirnya disepakati pengambilan pasir di pantai Geger dihentikan, menunggu hasil analisi Amdal berikutnya. Memang sebagaimana dikatakan Ketua Komisi I DPRD Bali I Made Arjaya, pengambilan pasir sebaiknya dihentikan, menunggu tim Amdal yang mengkaji ulang dampak proyek itu. Apabila tim Amdal yang baru telah merekomendasi, pengerukan bisa dilakukan. Memang selama ini ada Amdal yang dijadikan acuan melakukan pengerukan, tetapi Amdal itu berlaku untuk kawasan Nusa Dua, yang volume pengambilannya hanya 250.000 m3. Sedangkan pengerukan yang dilakukan di Geger volumenya mencapai 650.000 m3.
Pihak Bapedalda Bali menuding tidak pernah mendapat tembusan maupun koordinasi dari pelaksana proyek ini. Semestinya ada tembusan karena pengambilan pasir menyangkut lingkungan Bali secara keseluruhan. Untuk itu, sebelum proyek dilaksanakan mesti ada kajian Amdal. Ditambahkan, kualitas pasir di Geger tergolong bagus dan sejenis dengan pasir di Pantai Kuta.Apapun persoalan yang mengemuka, ada pelajaran bisa direnungkan para pembuat kebijakan. Proyek pengambilan pasir di Pantai Geger menunjukkan diskriminasi, alias tak adil. Soalnya, pasir dikeruk di Sawangan yang untung justru orang Kuta. Hanya karena pantai Kuta mendulang banyak dollar. Kini perbaikan diprioritaskan di pantai tanpa peduli keberlangsungan biota laut serta ekologi Pantai Geger-Sawangan.
Pengambilan pasir hanyalah salah satu persoalan pantai di Bali. Masih ada persoalan lain yang perlu dipetakan secara cermat dan dicarikan solusi terbaik. Yang terpenting, penanganan pantai dilakukan menyeluruh, bukan parsial. Selama ini penanganan pantai di Bali kurang optimal karena minimnya dana sehingga perbaikan dilakukan secara bertahap. Kerusakan pantai pun merembet, susul menyusul. Satu kawasan pantai diperbaiki, penggerusan di kawasan lain terjadi. Begitu seterusnya hingga persoalan abrasi masih terus mengusik hingga saat ini.
Penanganan pantai secara fisik juga bukan satu-satunya hal yang penting. Lebih dari semuanya adalah menjaga kesadaran untuk senantiasa mencintai, menghormati dan menjaga keberadaan pantai agar tetap lestari. Sehingga keindahan dan vibrasi sucinya meneguhkan bahwa Bali memang layak memilikinya. (LS)Yang Berkawan dengan LautSungguh mulia keberadaan laut. Setidaknya bagi orang-orang yang berkawan dengannya, hidup dan dihidupi oleh laut. Begitulah gambaran yang dirasakan Made Pegig (49), seorang nelayan di Sawangan. Lelaki itu berkarib dengan lautan sejak tahun 70-an. Sejak kecil dia berkawan dengan laut, pelajaran yang turun temurun dia ketahui dari orangtuanya. Memang, tidak mudah hidup dari laut. Banyak hal yang mesti dipahaminya. Ombak besar bisa tiba-tiba menggulung, angin kencangpun kerap menerpa tanpa ampun tubuhnya yang mulai renta. ‘’Saya paling takut kalau di laut ada angin ngelinus (angin puyuh),’’ sebutnya. Toh, Pegig bertahan melakoni pekerjaannya, hingga saat ini.Lelaki yang memiliki 3 anak dan satu cucu itu merasa menjadi nelayan adalah kemampuan terbaiknya. Secara alami dan secara naluri dia meyakini pilihan hidupnya. Meski pantai tidak selalu menjanjikan perolehan ikan yang banyak, dia tetap bersyukur karena masih bisa hidup dan menghidupi keluarganya dari mencari ikan di laut. Biasanya dia melaut pukul 15.00 wita dan kembali pukul 19.00 wita.Setiap kali melaut, Made Pegig memerlukan solar sekitar 10 liter untuk mengisi mesin jukungnya. Dalam sehari, bila cuaca baik, dia bisa memperoleh ikan sekitar 30 kg. Ikan yang sering diperolehnya adalah jangki atau kakap merah. Ikan itu dijualnya ke restoran di sekitar kawasan tersebut. Harga perkilo ikan Rp 18 ribu hingga Rp 25 ribu, tergantung jenis dan ukuran ikan yang didapatkannya. Istrinya, Ketut Sungkreng kadang-kadang juga membantunya menjual ikan.
Seperti kearifan lokal manusia Bali pada umumnya, Pegig juga percaya ala ayuning dewasa. Ketikan pertama kali melaut, yang dilakukannya adalah mencari dewasa baik. Dia juga belajar sedikit tentang perbintangan, belajar tentang purnama dan tilem agar bisa menerka-nerka situasi gelombang laut. Di tengah laut, dia menebarkan perlengkapan memancingnya, menggunakan bulu-bulu kain yang bisa dipakainya selama sekitar 10 hari. ‘’Saya juga megikuti arah terbangnya burung-burung karena biasanya itu pertanda ada ikan di sekitarnya,’’ jelas Pegig.Namun kenyamanannya berkawan dengan laut, belakangan ini terusik. Sejak banyaknya pembangunan di sekitar pantai akibat pariwisata, dia merasa ada hal yang hilang dan berubah. Kerusakan laut terjadi dimana-mana seperti abrasi, sampah dan lainnya. ‘’Ya, terutama abrasi dan pengambilan pasir yang mengakibatkan karang-karang bermunculan sehingga saya harus lebih hati-hati saat menurunkan jukung,’’ ujarnya. Harapannya sederhana saja. Dia ingin pemerintah berbuat sebaik-baiknya dengan tetap memperhatikan lingkungan. Kalaupun ada proyek yang akan dilaksanakan, sebelumnya harus melakukan sosialisasi dengan masyarakat setempat

Sunday, July 5, 2009

ASAL NAMA BALI

TAHUKAH Anda dari mana asal nama Bali untuk menyebut sebuah pulau di timur Pulau Jawa?Kedatangan seorang Maha Rsi Markandeya abad ke-7 memberikan pengaruh besar pada kehidupan penduduk Bali. Beliau adalah seorang pertapa sakti di Gunung Raung, Jawa Timur.Suatu hari beliau mendapat bisikan gaib dari Tuhan untuk bertempat tinggal di sebelah timur Pulau Dawa (pulau Jawa sekarang). Dawa artinya panjang, karena memang dulunya pulau Jawa dan Bali menjadi satu daratan.Dengan diikuti oleh 800 pengikutnya, beliau mulai bergerak ke arah timur yang masih berupa hutan belantara. Perjalanan beliau hanya sampai di daerah Jembrana sekarang Bali Barat karena pengikut beliau tewas dimakan harimau dan ular-ular besar penghuni hutan. Akhirnya beliau memutuskan kembali ke Gunung Raung untuk bersemedi dan mencari pengikut baru.Dengan semangat dan tekad yang kuat, perjalanan beliau yang kedua sukses mencapai tujuan di kaki Gunung Agung (Bali Timur) yang sekarang disebut Besakih.Sebelum pengikutnya merabas hutan, beliau melakukan ritual menanam Panca Dhatu berupa lima jenis logam yang dipercayai mampu menolak bahaya. Perabasan hutan sukses, tanah-tanah yang ada beliau bagi-bagi kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tegalan, rumah, dan tempat suci yang dinamai Wasukih (Besakih).Di sinilah beliau mengajarkan agama kepada pengiringnya yang menyebut Tuhan dengan nama Sanghyang Widhi melalui penyembahan Surya (surya sewana) tiga kali dalam sehari, menggunakan alat-alat bebali yaitu sesajen yang terdiri atas tiga unsur benda: air, api, dan bunga harum.Ajaran agamanya disebut agama Bali. Lambat laun para pengikutnya mulai menyebar ke daerah sekitar, sehingga daerah ini dinamai daerah Bali, daerah yang segala sesuatunya mempergunakan bebali (sesajen).Bisa disimpulkan bahwa nama Bali berasal dari kata bebali yang artinya sesajen.Ditegaskan lagi dalam kitab Ramayana yg disusun 1200SM: "Ada sebuah tempat di timur Dawa Dwipa yang bernama Vali Dwipa, di mana di sana Tuhan diberikan kesenangan oleh penduduknya berupa bebali (sesajen)."Vali Dwipa adalah sebutan untuk Pulau Vali yang kemudian berubah fonem menjadi Pulau Bali atau pulau sesajen. Tidak salah memang interpretasi ini melihat orang Bali memang tidak bisa lepas dari sesajen dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.