Tuesday, April 21, 2009

SELAMAT HARI KARTINI

« WANITA MENURUT PANDANGAN HINDU »
diambilkan dari kumpulan mailing list.


Wanita sangat diperhatikan sebagai penerus keturunan dan sekaligus sarana terwujudnya Punarbhava atau re-inkarnasi, sebagai salah satu srada (kepercayaan/ keyakinan) Hindu. Sejak mengalami menstruasi pertama, seorang wanita sudah dianggap dewasa, dan juga merupakan ciri/tanda bahwa ia mempunyai kemampuan untuk hamil. Oleh karena itu peradaban lembah sungai Indus di India sejak beribu tahun lampau senantiasa menghormati dan memperlakukan wanita secara hati-hati terutama ketika ia menstruasi. Wanita yang sedang menstruasi dijaga tetap berada didalam kamar agar terlindung dari mara bahaya


Lihatlah kisah Mahabharata ketika Drupadi, istri Pandawa, yang sedang menstruasi menjadi korban taruhan kekalahan berjudi Dharmawangsa dari Pandawa melawan Sakuni di pihak Korawa. Ia diseret keluar dan coba ditelanjangi oleh Dursasana di depan sidang. Dewa Dharma melindungi Drupadi sehingga kain penutup badan Drupadi tidak pernah habis, tetap melindungi tubuh walau bermeter-meter telah ditarik darinya. Sejak awal Drupadi sudah mengingatkan Dursasana, bahwa ia sedang haid, tidak boleh diperlakukan kasar dan dipaksa demikian. Akhirnya dalam perang Bharatayuda, Dursasana dibinasakan Bima, dan Drupadi menebus kaul dengan mencuci rambutnya dengan darah Dursasana


Wanita yang sedang menstruasi harus diperlakukan khusus karena di saat itu ia memerlukan ketenangan phisik dan mental. Namun perkembangan tradisi beragama Hindu di Bali menjadi berbeda, seperti yang disebutkan dalam Lontar Catur Cuntaka, bahwa wanita yang sedang haid tergolong "cuntaka" atau "sebel" atau dalam bahasa sehari-hari disebut kotor, sehingga ia dilarang sembahyang atau masuk ke Pura. Ini perlu diluruskan sesuai dengan filosofi Hindu yang benar


Wanita dewasa hendaknya dinikahkan dengan cara-cara yang baik, sesuai dengan Kitab Suci Manava Dharmasastra III. 21-30, yaitu menurut cara yang disebut sebagai Brahmana, Daiva, Rsi dan Prajapati. Brahmana wiwaha adalah pernikahan dengan seorang yang terpelajar dan berkedudukan baik; Daiva wiwaha adalah pernikahan dengan seorang keluarga Pendeta; Rsi wiwaha adalah pernikahan dengan mas kawin; dan Prajapati wiwaha adalah pernikahan yang direstui oleh kedua belah pihak


Di masyarakat Hindu modern dewasa ini sering ditemui cara perkawinan campuran dari cara-cara yang pertama, ketiga dan keempat. Singkatnya, perkawinan yang baik adalah dengan lelaki yang berpendidikan, berbudi luhur, berpenghasilan dan disetujui oleh orang tua dari kedua pihak. Selanjutnya dalam Kitab Suci itu juga diulas bahwa pernikahan adalah "Dharma Sampati" artinya "tindakan Dharma" karena melalui pernikahan, ada kesempatan re-inkarnasi bagi roh-roh leluhur yang diperintahkan Hyang Widhi untuk menjelma kembali sebagai manusia.

Dalam tinjauan Dharma Sampati itu terkandung peranan masing-masing pihak yaitu suami dan istri yang menyatu dalam membina rumah tangga. Istri disebut sebagai pengamal Dharma dan suami disebut sebagai pengamal Shakti


Peranan istri dapat dikatakan sebagai pengamal Dharma, karena hal-hal yang dikerjakan seperti mengandung, melahirkan, memelihara bayi dan seterusnya mengajar dan mendidik anak-anak, mempersiapkan upacara-upacara Hind u di lingkungan rumah tangga, menyayangi suami, merawat mertua, dan lain-lain. Peranan suami dapat dikatakan sebagai pengamal Shakti, karena dengan kemampuan pikiran dan jasmani ia bekerja mencari nafkah untuk kehidupan rumah tangganya. Kombinasi antara Dharma dan Shakti ini menumbuh-kembangkan dinamika kehidupan. Oleh karena itu pula istri disebut sebagai "Pradana" yang artinya pemelihara, dan suami disebut sebagai "Purusha" artinya penerus keturunan



Bila perkawinan disebut sebagai Dharma, maka sesuai hukum alam (Rta): rwa-bhineda (dua yang berbeda), maka ada pula yang disebut Adharma. Dalam hal ini perceraian adalah Adharma, karena dengan perceraian, timbul kesengsaraan bagi pihak-pihak yang bercerai yaitu suami, istri, anak-anak, dan mertua. Maka dalam agama Hindu, perceraian sangat dihindari, karena termasuk perbuatan Adharma atau dos


Istri harus dijaga dengan baik, disenangkan hatinya, digauli dengan halus sesuai dengan hari-hari yang baik sebagaimana disebut dalam


Manava Dharmasastra III.45:

Rtu kalabhigamisyat,

Swadharaniratah sada,

Parvavarjam vrajeksainam,

Tad vrato rati kamyaya".


Hendaknya suami menggauli istrinya dalam waktu-waktu tertentu

dan merasa selalu puas dengan istrinya seorang,

ia juga boleh dengan maksud menyenangkan hati istrinya mendekatinya untuk mengadakan hubungan badan pada hari-hari yang baik


Selanjutnya MD III.55:

Pitrbhir bhatrbhis,

Caitah patibhir devaraistatha,

Pujya bhusayita vyasca,

Bahu kalyanmipsubhih.


Istri harus dihormati dan disayangi

oleh mertua, ipar, saudara, suami dan anak-anak

bila mereka menghendaki kesejahteraan dirinya.

Ucapan sorga ada di tangan wanita bukanlah suatu slogan kosong, karena ditulis dalam


MD.III.56:

Yatra naryastu pujyante,

Ramante tatra devatah,

Yatraitastu na pujyante,

Yarvastatraphalah kriyah.


Di mana wanita dihormati,

di sanalah pada Dewa-Dewa merasa senang,

tetapi di mana mereka tidak dihormati,

tidak ada upacara suci apapun yang akan berpahala.


Lebih tegas lagi dalam sloka berikutnya:

MD.III. 57 :

Socanti jamayo yatra,

Vinasyatyacu tatkulam,

Na socanti tu yatraita,

Vardhate taddhi sarvada.


Di mana wanita hidup dalam kesedihan,

keluarga itu akan cepat hancur,

tetapi di mana wanita tidak menderita,

keluarga itu akan selalu bahagia.

Friday, April 17, 2009

Thursday, April 9, 2009

SWASTIKA

Jauh sebelum perang dunia, swastika telah dikenal luas oleh dunia, sebagai
simbul kebijakan dan belas kasih. Dalam usia sejarah 3.000 tahun, simbol
swastika berasal dari budaya India dan Barat kuno.

Ia mewakili pergerakan berkesinambungan – sebuah pergerakan seperti kincir
yang digerakkan angin atau air. Ia akan terus menerus berputar searah
perputaran jarum jam dan sebaliknya.

Ketika berputar searah jarum jam ia mewakili energi alam semesta, kuat dan
penuh kecerdasan; ketika ia berputar berlawanan dengan arah jarum jam, ia
mewakili belas kasih.

Ia juga melambangkan keharmonisan universal dan keseimbangan dari hal-hal
yang berlawanan.
Kata Swastika berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tanda perwujudan
diri.

Dengan kata lain, ia adalah sebuah tanda penjelmaan diri sendiri, dan tanda
seseorang yang telah mendapatkan pencerahan, secara umum dianggap sebagai
seorang Buddha (kata Buddha berasal dari bahasa Sansekerta, India kuno, yang
artinya adalah Sang Sadar, Orang Suci atau Nabi).

Karena itu Buddha dalam seni sering digambarkan mempunyai tanda (swastika)
pada dada atau telapak tangan mereka.

Kata Swastika umumnya dipercaya sebagai campuran dari kata Su dan Asati.
Su artinya baik dan Asati artinya ada atau hadir. Dalam tata bahasa
Sansekerta, bila dua kata digabungkan akan menjadi Swasti. -ka adalah
imbuhan. Bila turunan kata swastika ini betul, maka arti harafiah katanya
akan menjadi biarlah kebaikan itu nampak.

Untuk kebudayaan Barat, seperti Yunani, Celtic, Finlandia, dan beberapa
budaya asli, Swastika juga sebuah simbol yang sangat penting. Ini paling
banyak digunakan untuk seni busana, arsitektur, keramik, dan seni ukir atau
patung.

Kebudayaan Barat menamakannya roda penerangan. Di Tiongkok diketahui sebagai
simbol Wan.
Wan mempunyai kesamaan bunyi dengan sepuluh ribu, sebuah angka yang sering
digunakan untuk mencakup semua penciptaan alam semesta.

Saat Adolf Hitler memakai Swastika pada lencananya, ia berharap kekuatan
alam semesta dapat dimilikinya. Sejak itu, dunia-baru telah mengaitkan
Swastika dengan rejim dan ideologi Hitler.

Di Jerman, simbol ini masih terlihat dan punya pengertian yang tidak baik.
Kini, sudah saatnya mengembalikan Swastika ke tempat yang sebenarnya dan
mengembalikan pada arti aslinya. (Neli Magdalini S./The Epoch Times/bud)